Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Obon Tabroni dan Koalisi Ojol Nasional (KON) sepakat bahwa ojek online (ojol) merupakan mitra, bukan pekerja atau buruh.

Kesepakatan tersebut merespons langkah Pemerintah Indonesia yang menyatakan dukungan penerbitan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO), yang mengatur perlindungan terhadap pekerja platform digital, termasuk pengemudi ojol.

"Tadinya saya bingung karena ada aspirasi yang menyatakan ojol sebagai pekerja, tapi setelah mendapatkan masukan dari rekan-rekan Koalisi Ojol Nasional, saya baru sadar bahwa benar ojol bukan pekerja dan bukan buruh, mereka adalah mitra," kata Obon dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Obon pun menuturkan dirinya merupakan salah satu anggota tim perumus revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Baca juga: Pemerintah jembatani aplikator dan ojol cari titik temu soal tarif

Ia mengaku saat ini masih menyerap aspirasi dari komunitas ojol yang ternyata memiliki pandangan berbeda dengan organisasi buruh.

Adapun Ketua Umum Presidium Koalisi Ojol Nasional Andi Kristiyanto menegaskan penolakan terhadap dukungan Indonesia atas penerbitan Konvensi ILO terkait pekerja platform digital.

Andi mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara merdeka dan berdaulat, sehingga keterlibatan ILO dalam isu ojol di Indonesia dipandang sebagai bentuk intervensi terhadap kedaulatan negara.

"ILO nggak ada urusannya dengan nasib ojol di Indonesia, karena ojol di Indonesia bukan pekerja, dan bukan buruh. Jadi kami tolak intervensi ILO terhadap ojol di Indonesia," ungkap Andi.

Dia menilai adanya beberapa kelompok yang mengatasnamakan komunitas ojol untuk memperjuangkan status pekerja hanyalah upaya yang ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Dengan demikian, dirinya meminta pemerintah dan DPR agar tidak terpancing oleh narasi tersebut.

Melalui pernyataan tegas dan petisi, Koalisi Ojol Nasional pun menyatakan akan terus menjaga posisi independen mitra ojol dan menolak segala bentuk intervensi yang dianggap mengganggu sistem kemitraan yang selama ini telah berjalan.

Baca juga: Menteri UMKM rumuskan solusi adil bagi ojol dan aplikator

Petisi resmi yang diajukan berisi empat poin utama, yakni setop politisasi ojol oleh para elit politik dan pejabat negara, tolak ojol sebagai pekerja tetap, tolak potongan 10 persen yang tanpa kajian dan berdasar yang akan berdampak negatif pada mitra pengemudi, serta tolak kepentingan pribadi dan kelompok yang mengatasnamakan ojol.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) Agung Yudha mengingatkan apabila Konvensi ILO diterapkan di Indonesia, maka terdapat potensi hilangnya pekerjaan.

Menurutnya, pemaksaan kebijakan ketenagakerjaan (seperti reklasifikasi mitra menjadi karyawan platform atau memaksakan pemberian manfaat setara karyawan) pada sektor mobilitas dan pengantaran digital dapat memberikan dampak negatif yang cukup signifikan terhadap ekonomi Indonesia, termasuk menurunnya pendapatan jutaan UMKM yang bergantung pada platform digital serta meningkatnya pengangguran.

"Kebijakan ini akan menghilangkan kemampuan platform digital sebagai bantalan ekonomi nasional," ujar Agung.

Selain itu, menurut dia, efek domino dari kebijakan tersebut termasuk memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional, menimbulkan gejolak sosial politik, dan turunnya kepercayaan investor, baik dalam maupun luar negeri, terutama dalam masa perekonomian dunia yang menantang saat ini.

Baca juga: Menteri Maman: Jangan sampai UMKM terganggu karena polemik tarif ojol

Baca juga: Menteri Maman saran ojol pilih aplikasi dengan potongan tarif rendah

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.