Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta meminta warga dan korban tindak kekerasan pada perempuan dan anak untuk tidak ragu dan takut membuat laporan kepada pihak berwajib maupun pihak terkait dengan terkait peristiwa itu.
"Yang masalah dasar sebenarnya, warga masih ragu untuk mengadu dan melaporkan jika menjadi korban kekerasan. Itu tidak boleh, masyarakat harus berani mengeluarkan suara jika menjadi korban," kata Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DKI Jakarta, Ali Maulana Hakim dalam sosialisasi pelaksanaan Survei Pengalaman Hidup Anak Daerah (SPHAD) dan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Daerah (SPHPD) Tahun 2025 bagi lurah di Jakarta, Kamis.
Menurut Ali, ada beberapa alasan masyarakat ragu untuk membuat laporan, antara lain merasa takut pelaku balas dendam atau takut dengan proses hukum yang panjang dan melelahkan.
Lalu, masyarakat seringkali merasa malu menjadi korban kekerasan dan memikirkan banyaknya stigma negatif yang melekat pada korban kekerasan, seperti anggapan bahwa mereka sumber masalah atau tidak layak mendapatkan perlindungan.
Kemudian, masyarakat tidak mengetahui prosedur pelaporan atau layanan yang tersedia untuk korban kekerasan.
Baca juga: Ini upaya DKI agar bisa cegah kekerasan perempuan dan anak
"Semua harus dibuka dan membuka kasus kekerasan tidak mudah, karena ini aib. Tentunya prosesnya, kita betul-betul semuanya diam-diam untuk menjaga nama baik anak dan orang tuanya," ujar Ali.
Selain itu, Ali meminta masyarakat untuk bisa lebih peduli terhadap lingkungan sekitar. Jika ditemukan adanya kecurigaan terhadap tetangga, maka harus segera dicegah dan dilaporkan ke pihak berwajib.
"Masyarakat harus punya rasa peduli terhadap warga, keluarga, tetangga, lingkungan sekitarnya. Apabila terjadi tanda-tanda kekerasan perempuan dan anak, harus bisa mencegah, minimal melaporkan segera," ucap Ali.
Ali berharap, kasus kekerasan di Jakarta bisa berkurang dengan partisipasi masyarakat baik di tingkat RT, RW, kelurahan dan kecamatan.
"Saya minta ke seluruh masyarakat Jakarta untuk bisa turut memperhatikan kejadian kekerasan perempuan dan anak di lingkungan sekitar, kita semua punya tanggung jawab masing-masing," kata Ali.
Baca juga: Menteri PPPA ungkap kesehatan mental pemicu kekerasan seksual
Berdasarkan laman Dinas Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta, layanan kasus kekerasan perempuan dan anak bisa diakses secara gratis bagi warga Jakarta ataupun bukan warga DKI Jakarta yang mengalami kekerasan di wilayah Jakarta.
Layanan pengaduan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan melalui Unit Pelaksana Teknis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Layanan tersebut mencakup pendampingan, kesehatan, psikologis, hukum dan rujukan.
Terdapat dua petugas layanan di setiap pos pengaduan yang terdiri dari petugas yang memberikan bimbingan konseling (konselor) dan edukasi hukum (paralegal) yang bertugas menerima pengaduan kekerasan dan melakukan asesmen awal kepada perempuan dan anak korban kekerasan.
Adapun pos pengaduan kekerasan perempuan dan anak di Jakarta hadir di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang tersebar di lima wilayah kota administrasi dan Kepulauan Seribu.
Total terdapat 44 pos pengaduan yang kini tersebar di setiap kecamatan, DKI Jakarta.
Baca juga: Perda Perlindungan Perempuan dan Anak sudah usang
Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis (UPT) PPPA Provinsi DKI Jakarta, terdapat 2.041 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2024. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 1.682 kasus.
Sedangkan kasus kekerasan perempuan dan anak sepanjang Januari sampai Juni 2025 sebanyak 965 kasus.
Pewarta: Siti Nurhaliza
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.