Jakarta (ANTARA) - Sebutan China dan Tiongkok kerap digunakan secara bergantian oleh masyarakat Indonesia saat merujuk pada negara besar di Asia Timur tersebut. Namun, tak sedikit pula yang bertanya-tanya, mengapa kadang disebut China, kadang Tiongkok, dan apa pula perbedaan antara istilah Tionghoa dan Cina?

Penggunaan istilah-istilah ini ternyata memiliki akar sejarah panjang yang mencakup aspek budaya, politik, serta linguistik. Perbedaan penyebutan ini tidak hanya soal bahasa, tetapi juga sarat muatan historis dan identitas.

Asal-usul istilah Tiongkok

Menurut laporan China Daily, istilah Tiongkok berasal dari kata Zhongguo dalam bahasa Mandarin yang berarti “Negara Tengah”. Nama ini sudah digunakan lebih dari 3.000 tahun lalu oleh masyarakat China sendiri. Salah satu bukti tertua penggunaan nama Zhongguo ditemukan pada wadah perunggu kuno bernama Hezun dari era Dinasti Zhou Barat. Pada wadah tersebut tertulis frasa Zhai zi Zhong Guo, yang artinya “hidup di tengah dunia”.

Dalam dialek Hokkien, yang banyak digunakan oleh para perantau dari wilayah selatan China, Zhongguo diucapkan sebagai Tiong-kok. Dari sinilah istilah Tiongkok dikenal di Indonesia dan terus digunakan, terutama dalam konteks resmi.

Di sisi lain, istilah China tidak berasal dari bahasa Mandarin. Menurut catatan sejarah, istilah tersebut kemungkinan berasal dari kata Cina dalam bahasa Sansekerta yang merujuk pada Dinasti Qin (dibaca: Chin). Penyebutan ini kemudian menyebar lewat pedagang Persia dan menjadi populer di dunia Barat.

Baca juga: China sebut negosiasi dagang dengan AS mencapai kemajuan baru

Penggunaan kata China atau Cina di Indonesia juga berkaitan dengan masa kolonial hingga pascareformasi. Istilah tersebut pernah digunakan secara resmi pada masa Orde Baru, tetapi kemudian dipersoalkan karena dinilai mengandung konotasi merendahkan.

Sementara itu, istilah Tionghoa digunakan untuk merujuk pada etnis keturunan China yang tinggal di Indonesia. Sebutan ini muncul sejak abad ke-13 ketika warga China bermigrasi ke Nusantara. Dalam dialek Hokkien, orang China disebut Tionghoa, dan istilah ini kemudian menjadi lebih dikenal serta mudah dipahami masyarakat lokal.

Pada masa kolonial Belanda, penggunaan istilah Tionghoa juga lebih disukai karena dianggap lebih netral dan sopan dibandingkan dengan sebutan Cina. Namun pada masa Orde Baru, penggunaan istilah Tionghoa dan Tiongkok dilarang dan diganti dengan istilah Cina, sesuai dengan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967.

Rehabilitasi istilah pada era reformasi

Reformasi pada akhir 1990-an membawa perubahan besar terhadap kebijakan terkait etnis Tionghoa. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang dinilai diskriminatif, dan mulai memperkenalkan kembali istilah Tionghoa dan Tiongkok dalam dokumen-dokumen resmi pemerintah.

Kemudian, pada 14 Maret 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2014 yang secara resmi mencabut Surat Edaran Kabinet Ampera 1967 dan menetapkan penggunaan istilah Tionghoa dan Tiongkok. Sejak saat itu, media dan instansi pemerintah di Indonesia secara konsisten menggunakan kedua istilah tersebut.

Dengan demikian, penggunaan istilah Tiongkok merujuk pada negara Republik Rakyat Tiongkok, sedangkan Tionghoa mengacu pada warga negara Indonesia keturunan China. Adapun istilah Cina dan China secara bertahap ditinggalkan karena mengandung nuansa sejarah yang sensitif dan potensi diskriminasi.

Penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa bukan sekadar persoalan bahasa, melainkan bentuk penghormatan terhadap keragaman dan kesetaraan warga negara di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural.

Baca juga: Terapkan bebas visa transit untuk WNI, China ingin lebih membuka diri

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.