Harapan dari (pelaku) industri (asuransi) adalah tentang clinical pathways yang kalau bisa dibakukan. Kalau di BPJS Kesehatan kan sudah baku tuh, misalnya kalau orang demam berdarah, apa saja yang diobati

Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mengatakan regulator perlu menetapkan pedoman perawatan pasien (clinical pathway) serta memperbaiki ekosistem industri kesehatan nasional secara keseluruhan agar skema co-payment asuransi kesehatan dapat berjalan baik.

Wakil Ketua Bidang Teknik 3 AAUI Wayan Pariama menuturkan, pedoman tersebut sudah ditetapkan untuk BPJS Kesehatan, tapi belum untuk asuransi swasta.

“Harapan dari (pelaku) industri (asuransi) adalah tentang clinical pathways yang kalau bisa dibakukan. Kalau di BPJS Kesehatan kan sudah baku tuh, misalnya kalau orang demam berdarah, apa saja yang diobati,” ucap Wayan Pariama di Jakarta, Jumat.

Ia menyatakan, tanpa clinical pathway yang jelas, ada potensi dilakukannya diagnosis, tes, maupun perawatan medis yang berlebihan atau di luar keperluan oleh fasilitas kesehatan (overtreatment).

Ia menuturkan, hal tersebut membuat biaya perawatan meningkat 4-5 kali lipat dari biaya yang seharusnya dibayarkan, sehingga tetap membebani klaim perusahaan asuransi meskipun skema co-payment diterapkan.

“Nah, jadi kalau bisa ada suatu standardisasi (terkait perawatan pasien) yang tentunya akan menekan atau memperlambat inflasi medis,” ujar Wayan.

Selain clinical pathway, Ketua AAUI Budi Herawan juga menyampaikan perlunya untuk memperbaiki ekosistem industri kesehatan secara keseluruhan untuk mendukung implementasi skema co-payment.

Ia menyatakan bahwa tidak hanya overtreatment, peningkatan biaya medis juga terjadi karena perbedaan harga tindakan dan obat di setiap kelas layanan medis.

Ia pun mengajak semua pihak untuk turut berpartisipasi meningkatkan kualitas ekosistem kesehatan nasional, mengingat upaya tersebut memerlukan komitmen luar biasa dari seluruh pemangku kepentingan.

“Kami mempunyai pandangan dan pendapat kalau sebaiknya dilakukan perbaikan secara ekosistem terlebih dahulu…. Kami yakin OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dalam hal ini juga sudah berkomunikasi dengan Kementerian Kesehatan,” kata Budi Herawan.

OJK telah menerbitkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan (SEOJK 7/2025).

Regulasi tersebut mengatur skema pembagian risiko (co-payment) dan Coordination of Benefit (CoB) yang mulai berlaku pada 1 Januari 2026 mendatang.

Skema pembagian risiko atau co-payment adalah porsi pembiayaan kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemegang polis, tertanggung, atau peserta, paling sedikit sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim rawat jalan atau rawat inap di fasilitas kesehatan.

Walaupun begitu, terdapat batas maksimum porsi pembiayaan yang menjadi tanggung jawab pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebesar Rp300 ribu per pengajuan klaim rawat jalan serta Rp3 juta per pengajuan klaim rawat inap.

Baca juga: AAUI sebut 'co-payment' berpotensi kurangi harga premi hingga 5 persen

Baca juga: OJK: Skema co-payment tekan inflasi medis

Baca juga: Pengamat: Skema co-payment asuransi kesehatan tak akan rugikan rakyat

Pewarta: Uyu Septiyati Liman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.