Gambir bukan hanya dedaunan yang diperas dan dikeringkan. Ia adalah identitas lokal, sumber daya nasional, dan potensi masa depan ekspor

Jakarta (ANTARA) - Pada suatu masa, gambir menjadi salah satu komoditas primadona Indonesia di pasar internasional. Tanaman khas Sumatera Barat ini dikenal luas karena kandungan senyawa aktifnya yang bernilai tinggi, seperti katekin dan tanin, yang digunakan dalam berbagai industri, mulai dari farmasi, kosmetika, makanan, hingga penyamakan kulit.

Namun, hari ini, suara riuh pelabuhan yang dulu ramai mengirim gambir ke India, Tiongkok, dan Eropa mulai sayup terdengar. Kita tengah menyaksikan sebuah ironi, dimana komoditas berpotensi besar ini justru kian terpinggirkan dari panggung ekspor Indonesia.

Di tengah krisis pangan global, tren green product, dan meningkatnya permintaan pasar terhadap bahan alami, gambir seharusnya kembali diperhitungkan. Produk ini mengandung katekin murni hingga 40–55 persen, yang memiliki khasiat antioksidan, antivirus hingga antikanker.

Kandungan senyawa ini dalam gambir lebih tinggi dibandingkan sumber lain, seperti teh hijau. Dalam laporan resmi berbagai lembaga riset internasional, katekin disebut sebagai komponen penting dalam suplemen peningkat imun dan produk kosmetik premium. Tidak heran jika pasar dunia mulai menaruh perhatian lebih besar pada gambir.

Kemudian yang jadi pertanyaan adalah, mampukah Indonesia memanfaatkan potensi gambir ini?

Usahatani menguntungkan

Salah satu fakta mencengangkan mengenai gambir datang dari penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro, sekarang menjadi BRMP Tanaman Rempah dan Obat), yang dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa usahatani gambir sejatinya sangat menguntungkan secara ekonomi. Nilai net present value (NPV) mencapai hampir Rp100 juta, internal rate of return (IRR) sebesar 57 persen, dan benefit-cost ratio 1,61.

Petani di Solok Bio-Bio, salah satu sentra gambir, bisa mendapatkan pendapatan hingga Rp1,6 juta per hektare per tahun, angka yang tidak kecil di tengah kondisi harga komoditas perkebunan yang fluktuatif. Namun, potensi keuntungan itu seolah tidak tersentuh oleh sebagian besar petani gambir lain di Indonesia.

Masalah utama terletak pada struktur produksi gambir yang masih bersandar pada cara-cara tradisional. Teknik pengolahan gambir, mulai dari perebusan daun, pengepresan, hingga pengeringan, masih menggunakan alat manual dan tungku kayu. Akibatnya, kualitas gambir yang dihasilkan sering tidak konsisten. Ketika mutu produk tidak terstandar, harga pun fluktuatif.

Para petani gambir hanya menjadi "pengikut pasar", bukan penentu arah nilai jual produknya. Lebih jauh, tidak banyak petani yang memahami pentingnya kadar tanin dan katekin dalam menentukan kualitas gambir. Ini menjadi penghalang besar untuk masuk ke pasar ekspor yang mensyaratkan standar mutu tinggi.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.