Jakarta (ANTARA) - Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) bertindak sebagai satu pintu pembayaran royalti pertunjukan ("performing rights") atas penggunaan komersial karya cipta lagu dan/atau musik di 14 kategori ruang publik, seperti konser, pusat rekreasi hingga karaoke, kata anggota LMKN Ikke Nurjanah.

Ikke dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Sabtu, mengatakan pembayaran royalti "performing rights" oleh pengguna komersial (user) karya cipta musik dan/atau lagu diatur satu pintu melalui LMKN sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

"Pembayaran royalti 'performing' oleh 'user' satu pintu ke lembaga manajemen kolektif yaitu LMKN sesuai PP 56 (Tahun 2021)," kata Ikke.

Selain mengumpulkan dan menampung pembayaran royalti, menurut Ikke, LMKN juga bertugas mendistribusikan royalti "performing rights" kepada pemilik hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Hak Cipta dan LMK Hak Terkait, sesuai dengan tugas yang diamanatkan dalam PP 56/2021, khususnya di dalam Bab III.

Baca juga: Moeldoko ingatkan LMKN soal transparansi royalti musik dan lagu

Ikke mengatakan aturan tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pasal 9, 23, dan 89.

Pasal 9 UU Hak Cipta mewajibkan adanya izin dari pencipta sebelum penggunaan ciptaan secara komersial. Dan di Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta mengatur penggunaan ciptaan dalam pertunjukan komersial dapat dilakukan setiap orang, tanpa izin awal dari pencipta, sepanjang membayarkan royalti kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Berdasarkan Pasal 89 UU Hak Cipta, LMK ada dua jenis, yaitu: LMK Hak Cipta (mewakili pencipta karya musik dan/atau lagu, seperti Wahana Musik Indonesia/WAMI hingga Karya Cipta Indonesia/KCI) dan LMK Hak Terkait (mewakili pelaku pertunjukan dan produser fonogram).

"Saat ini total ada empat LMK hak cipta, dan 10 LMK hak terkait," kata Ikke.

Ikke menambahkan bahwa WAMI sebagai LMK yang mewakili pencipta lagu, saat ini telah menjalin kerja sama internasional dengan lembaga manajemen kolektif serupa di luar negeri untuk mengelola hak ekonomi pemilik hak atas karya cipta musik dan/atau lagu Indonesia yang digunakan di kancah global.

Baca juga: LMKN: Dari Presiden sampai Coldplay, semua tetap bayar royalti

Untuk menjamin akuntabilitas, pemegang hak cipta dan hak terkait berhak meminta data pembagian royaltinya kepada LMK masing-masing.

"Dan LMK maupun LMKN juga diwajibkan untuk mempublikasikan hasil audit keuangan tahunan di situs web mereka," kata Ikke.

Komitmen transparansi dan memberdayakan musisi untuk mengawasi hak-hak mereka sendiri itu bertujuan agar pengelolaan royalti musik di Indonesia menjadi lebih efektif dan adil bagi setiap pelaku industri musik.

LMKN adalah lembaga bantu pemerintah non-APBN di bawah Kementerian Hukum Republik Indonesia terus aktif dalam melakukan sosialisasi dan edukasi kepada publik khususnya kepada usaha layanan publik yang bersifat komersial.

Saat ini, besaran tarif royalti diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu (Lihat Tarif Menteri).

Baca juga: Kemenkumham tengah bahas kesepakatan bersama terkait royalti

Baca juga: Ketua LMKN: Indonesia punya "harta karun" royalti di luar negeri

Baca juga: Kemenkumham berikan izin operasional 3 LMK lindungi musik tradisional

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.