Jakarta (ANTARA) - Jika mau jujur, baru di zaman pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, para menteri atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap produksi, pengadaan dan distribusi pangan utamanya beras, bisa bergerak satu irama dan tujuan yang sama dalam memenuhi kebutuhan beras dari dalam negeri.
Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Badan Pangan Nasional dan Badan Urusan Logistik, BPS satu kata, tidak ada impor beras tahun 2025 dan pengadaan beras bulog hanya dilakukan melalui penyerapan hasil panen petani.
Menteri Pertanian dan Dirut Bulog beserta jajaran all out menyukseskan serapan gabah saat puncak panen 2025. Pemerintah melalui Keputusan Kepala Bapanas No 14/2025, memberlakukan harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 6.500/kg tanpa syarat kualitas dan rafraksi.
Inilah salah satu bentuk konkret kehadiran dan keberpihakan pemerintah terhadap petani di lapangan. Selama 20 tahun terakhir ini, pemerintah lebih banyak berbisnis dengan petani, melalui importasi beras dan menjualnya di dalam negeri.
Paling tidak dalam dua puluh tahun ini dalam hal ini 10 tahun pemerintahan SBY dan 10 tahun pemerintahan Jokowi, pemerintah berbisnis dengan rakyatnya.
Berbagai argumen dikemukakan antara lain produksi beras dalam negeri tidak mencukupi, cadangan beras untuk operasi pasar sangat terbatas, gejolak harga beras medium di pasaran, antisipasi terjadinya bencana, dengan berbagai data dan informasi pendukungnya.
Data BPS, data dan informasi harga beras medium di pasaran, prediksi musim kemarau akan berdampak terhadap penurunan produksi padi.
Pemerintah perlu stok beras untuk mitigasi kalau terjadi bencana. Opini media cetak maupun elektronik serta diskursus untuk membangun ketakutan akan pasokan beras dalam negeri terus didengungkan.
Patut diduga selama dua puluh tahun tersebut, ada aktor intelektual dan para pemburu rente yang bermain dalam impor beras. Penggiringan opini tentang perlunya impor beras inilah yang akhirnya digunakan sebagai salah satu argumen pemerintah untuk melakukan impor beras.
Kementerian yang bertanggung jawab terhadap monitoring harga dan cadangan beras bukannya meyakinkan pemerintah, tetapi cenderung tidak melakukan penguatan bahwa produksi padi dalam negeri mencukupi. Ultimate goalnya adalah impor beras. Pertanyaan fundamentalnya, mengapa ini terus terjadi dalam waktu lama dan rakyat utamanya petani terus dikorbankan?
Politik dan bisnis
Mengapa impor beras berlangsung lebih dari 20 tahun? Patut diduga banyaknya kepentingan yang bermain merupakan jawaban konkretnya.
Negara produsen beras tentu menjadi magnet bagi para pemburu rente untuk mengeruk keuntungan yang sangat dahsyat.
Sebagai ilustrasi, harga beras medium poles per 18 Mei 2025 mencapai Rp 62 500 per 5 kilogram (Rp12500/kg), sementara harga beras 5 persen broken bervariasi antara 500-550 dolar AS per ton di pasar internasional (dengan kurs 18 Mei 2025 Rp16488,59/dolar AS), maka harga beras impor per kilogram antara Rp8244-Rp9068.
Terdapat selisih harga antara Rp3432-Rp4256 per kg dibandingkan harga beras medium domestik.
Jika impor dilakukan sebanyak 2,25 juta ton, maka terdapat selisih harga antara Rp7699-Rp9576 miliar, suatu angka yang menggiurkan bagi banyak orang, tanpa berfikir dampak buruknya bagi petani dan ketahanan produksi nasional.
Perbandingan tersebut makin lebih dahsyat, karena beras pecah 5 persen termasuk beras premium. Tentu harganya lebih tinggi dan menguntungkan bagi importir.
Bukti bahwa kebijakan impor beras sarat dengan muatan kepentingan terlihat dari harga beras yang turun saat Indonesia tidak mengimpor beras pada 2025. Patut diduga, ada konspirasi antara pemburu rente dan pedagang beras di Vietnam atau Thailand.
Fenomena ini menunjukkan kepada semua, bahwa impor beras lebih banyak mudaratnya dibandingkan manfaatnya. Manfaat itu lebih dinikmati para pemburu rente yang tega mengorbankan petani sebagai pilar penyedia pangan negara.
Keuntungan yang sangat dahsyat tersebut menjadikan banyak pihak berminat untuk melanggengkan impor beras.
Itulah sebabnya, ketika jelang musim kemarau diskursus tentang kekeringan, el nino, gagal panen, puso dan harga beras medium naik menjadi topik aktual yang mengemuka di media masa.
Importasi beras
Kebijakan yang kurang berpihak pada petani mengutamakan importasi beras dibandingkan memprioritaskan penyerapan produksi dalam negeri secara kasat mata dan apriori merupakan bentuk konkretnya.
Sebagai contoh kasus, bangsa ini mungkin bisa belajar dari situasi yang terjadi pada tahun 2018 dimana pemerintah melakukan impor beras sebanyak 2,25 juta ton di luar beras khusus.
Padahal pada tahun tersebut, produksi padi Indonesia mencapai angka tertinggi dalam sejarah. FAO melaporkan Indonesia memproduksi 56,54 Juta ton GKG (setara 33,94 juta ton).
Tahun 2018 merupakan puncak produksi karena kinerja Upaya Khusus (UPSUS) bekerja sama dengan MABES Angkatan Darat dan Pemerintah Provinsi serta Pemerintah Kabupaten/Kota mencapai titik kulminasinya.
Semua bergerak dari Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota. Saat itu salah satu Penulis menjabat sebagai Direktur Jenderal Tanaman Pangan melihat dari citra satelit SPOT 5 maupun LANDSAT tutupan lahan didominasi oleh padi.
Data dan Informasi ini tervalidasi di lapangan, sehingga saat itu penulis dengan percaya diri menjelaskan di depan DPR dalam hal ini Komisi IV sebagai mitra kerja.
Sayang, meskipun DPR sudah yakin, tetapi Pemerintah tetap mengimpor beras medium 2,25 juta ton. Ironis memang, tetapi itulah realitanya yang harus dihadapi.
Sebagai insan yang berkecimpung dengan petani untuk berproduksi, sakit rasanya dan sesak dada ini. Tapi apalah daya, pengambil kebijakan memutuskan untuk mengimpor beras. Importasi saat itu diputuskan sepihak, karena Menteri Pertanian saat itu tidak setuju.
Dari situasi ini, paling tidak ada tiga implikasi yang harus diderita petani Indonesia yakni (i) harga gabah di tingkat petani anjlok saat panen raya; (ii) volume pembelian gabah petani oleh Bulog rendah; (iii) stok beras dalam negeri berlebih, sehingga beras Bulog yang disimpan terlalu lama mengalami penurunan mutu dan tidak layak dikonsumsi.
Untuk memperkuat argumen impor beras, sejak awal dilakukan koreksi luas baku lahan sawah. Meskipun di lapangan banyak ditemukan ketidakakuratannya, tetapi luas baku lahan sawah BPN (2018) yang dipakai pemerintah saat itu untuk menentukan produksi, kecukupan beras, dan impor.
Ada Kabupaten di Sumatra Selatan areal sawahnya hilang 6000 hektare lebih. Bahkan Jawa Timur waktu itu data luas sawahnya meningkat 300.000 hektare, suatu hal yang tidak masuk logika akal sehat. Selain tidak ada cetak sawah baru, juga alih fungsi lahan sawah untuk non sawah terus meningkat.
Pemerintah saat Itu, melalui BPN dan atas masukan data dari BIG, Lapan, BPS, dan Bappenas memutuskan angka 7.105.145 hektare dari semula angka BPN (2013) 7.750.999 hektare.
Provinsi dan Kabupaten/Kota saat itu mengajukan protes karena tidak sesuai kondisi lapangan. Akhirnya pada 2019 luas baku sawah yang tervalidasi oleh BPN menjadi 7,46 juta hektare.
Fenomena ini menunjukkan bahwa data luas sawah baku rawan “digoreng” demi kepentingan pihak tertentu utamanya yang menginginkan impor beras secara berkelanjutan.
Bukti lain bahwa kebijakan impor beras sarat dengan muatan kepentingan terlihat dari harga beras yang turun saat Indonesia tidak mengimpor beras tahun 2025.
Walaupun, situasi dibuat heboh dengan data keluar masuk beras di Pasar Tjipinang yang diungkapkan oleh Mentan yang menyebabkan harga beras ada kenaikan walaupun Mentan juga mengumumkan bahwa stok beras 4 juta ton. Disinyalir ada permainan mafia beras.
Pertanyaannya, bagaimana memutus jalur dan mafia lingkaran setan impor beras yang selama ini terus terjadi dan bahkan semakin merajalela?
Diperlukan satu komando dalam pengadaan gabah dalam negeri dengan segala risikonya merupakan solusi mendasarnya.
Serap gabah petani
Keputusan fundamental untuk menyerap gabah petani at all cost merupakan keputusan satu komando yang perlu diapresiasi, karena tingkat ketidakpastian iklim sangat tinggi sebagai dampak perubahan iklim.
Tentu ada risiko yang harus diambil pemerintah. Itu sangat wajar, begitulah bentuk konkret di lapangan bahwa Pemerintah hadir dan tidak membiarkan petani berjuang sendiri dipermainkan tengkulak.
Faktanya, pemerintah mampu menyerap gabah secara maksimal, dan hampir tidak terdengar harga gabah anjlok di lapangan.
Kalaupun Pemerintah dalam hal ini Bulog merugi sedikit, itu sangat wajar, karena selama 20 tahun lebih pemerintah menikmati keuntungan dari impor beras yang menyengsarakan petani.
Mitigasi risiko Bulog harus dilakukan agar tidak mengalami kerugian lebih besar. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain, Bulog membeli gabah kering panen atau gabah kering giling dan dikeringkan sampai kadar air kering simpan, sehingga mutunya tidak akan turun sekalipun disimpan dalam waktu satu tahun.
Bulog harus memaksimalkan silo silo yang dimiliki, sehingga kapasitas simpan gabah Bulog lebih besar. Secara bertahap Bulog harus menyerap langsung dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) atau kelompok tani (Poktan) agar harga beli Bulog dinikmati langsung petani bukan oleh pihak ketiga.
Pengadaan penggilingan padi moderen yang mampu menghasilkan 6 derivat gabah, memungkinkan nilai tambah yang diperoleh Bulog lebih baik.
Mengapa selama ini Bulog hanya menghasilkan beras, padahal Wilmar Padi Nusantara mampu menghasilkan menir, bekatul, sekam, oil rice brand dan masih banyak lagi, sehingga pendapatannya lebih baik dan bisa di share ke petani.
Ingat rata rata lahan garapan petani hanya 0,3 hektare, sehingga tanpa ada tambahan pendapatan lain dari harga gabah, maka dipastikan petani akan sulit mencapai kesejahteraan hidup.
*) Gatot Irianto adalah Analis Kebijakan Ahli Utama, Kementan; Muhrizal Sarwani adalah Peneliti/Analis Asosiasi Peneliti Pertanian Indonesia (APPERTANI); dan Destika Cahyana adalah Peneliti BRIN.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.