Purwokerto (ANTARA) - Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) harus menjadi instrumen hukum progresif dan berbasis pada perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Saat menjadi pembicara kunci dalam seminar nasional bertajuk “RUU KUHAP: Solusi atau Masalah Baru dalam Penegakan Hukum di Indonesia” yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin, Jaksa Agung menegaskan pentingnya pembaruan KUHAP untuk menjawab tantangan dinamika masyarakat dan perkembangan teknologi hukum di Indonesia.
“KUHAP yang berlaku saat ini, yaitu UU Nomor 8 Tahun 1981, sudah tidak lagi mampu mengakomodasi perkembangan sosial, kemajuan teknologi, dan semakin kompleksnya modus kejahatan,” kata dia yang hadir secara daring.
Ia pun mengutip pernyataan tokoh hukum progresif Indonesia, almarhum Satjipto Rahardjo yang menyebutkan “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”.
Oleh karena itu, kata dia, pembaruan KUHAP mendesak dilakukan agar sistem peradilan pidana di Indonesia makin terpadu, progresif, dan berorientasi pada perlindungan HAM.
Menurut dia, pembentukan RUU KUHAP harus memenuhi prinsip partisipasi bermakna yang meliputi hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau tanggapan.
Selain itu, menjamin prinsip-prinsip peradilan yang adil meliputi pengakuan HAM atas pidana, pengawasan ketat atas upaya jaksa, dan jaminan akses bantuan hukum, serta prinsip peradilan yang independen dan prinsip pemulihan/upaya hukum yang efektif.
“KUHAP saat ini mengandung kelemahan mendasar dalam perlindungan HAM, karena masih mengadopsi pendekatan represif yang kurang menghormati hak tersangka atau terdakwa,” katanya menjelaskan.
Burhanuddin juga menyoroti urgensi pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) sebagai pengganti paradigma punitif yang selama ini mendominasi hukum pidana di Indonesia.
“Keadilan restoratif sudah masuk dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) 2023 dan telah dipraktikkan aparat penegak hukum, namun belum memiliki payung hukum yang memadai,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan pentingnya memperkuat mekanisme pemeriksaan dan keseimbangan antara penegak hukum.
Selain itu, menyusun pengaturan yang memberikan kontrol dan pengawasan yang memadai terhadap aparat penegak hukum.
“RUU KUHAP ke depan harus mampu mempertegas peran aparat penegak hukum sekaligus memberikan perlindungan terhadap HAM bagi semua pihak dalam proses hukum,” kata Jaksa Agung.
Selain Jaksa Agung ST Burhanuddin yang bertindak sebagai pembicara kunci, seminar tersebut juga menghadirkan sejumlah narasumber yang terdiri atas anggota Komisi III DPR RI Rikwanto, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Asep Nana Mulyana, Guru Besar FH Unsoed Prof Hibnu Nugroho, dan advokat alumni Unsoed Hermawanto.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.