Jakarta (ANTARA) - Kekalahan telak 0-10 yang diderita Auckland City dari Bayern Munich pada pertandingan Grup C Piala Dunia Antarklub 2025, Senin (16/6), jelas bukan hasil yang mengejutkan.
Wakil Oseania itu, regional terlemah dalam panggung sepak bola, diperkuat oleh pemain-pemain semi amatir.
Tanpa melirik ke papan skor pun, sudah dapat dibayangkan timpangnya kekuatan mereka dibandingkan raksasa Jerman, Bayern.
Kiper Auckland Conor Tracey mungkin ingin segera pulang kampung ke Selandia Baru untuk kembali menjalani pekerjaan regulernya.
Namun di sisi lain, ia tetap salah satu dari segelintir pesepak bola "antah-berantah" yang pernah menghadapi Bayern di laga resmi dan kompetitif.
Bagi klub-klub seperti Auckland City, ES Tunis, Wydad AC, Al Ain, dan Mamelodi Sundowns, sekadar tampil di Piala Dunia Antarklub sudah menjadi salah satu pencapaian puncak. Tracey bahkan mungkin sudah merasa menjadi sosok pemenang saat ia tiba di AS untuk berlaga di Piala Dunia Antarklub.
Biaya perjalanan ke AS saja kira-kira sudah melampaui pendapatan tahunan klub-klub itu.
Namun setidaknya masing-masing klub itu akan menerima uang sebesar 3,5 juta dolar (sekira Rp 57 miliar) hanya karena dapat berpartisipasi.
Uang sebesar itu jelas akan sangat berarti untuk pembangunan fasilitas latihan maupun pengembangan sepak bola di klub-klub "antah-berantah".
Fase grup bagi para penggembira
Sedangkan bagi klub-klub papan atas Eropa dan Amerika Selatan, laga-laga di fase grup bak sekadar formalitas belaka. Mereka baru akan mengalami ujian berat di fase gugur.
Memang tidak menutup kemungkinan akan munculnya kejutan di Piala Dunia Antarklub. Auckland juga pernah melakukannya saat mereka meraih peringkat ketiga pada 2014.
Namun, sejak awal, tim-tim kecil sudah tahu diri. Mereka kemungkinan besar hanya akan menjadi penggembira di fase grup, sebelum para aktor utama mengambil sorotan di fase gugur.
Mestinya tidak ada yang salah dengan hal itu. Sayangnya FIFA melabeli turnamen ini dengan begitu agung, yang membuat ekspektasi bahwa Piala Dunia Antarklub akan menjadi kompetisi yang menarik sejak awal sulit terwujud.
FIFA mengusung slogan Yang Terbaik melawan Yang Terbaik pada turnamen yang sebelumnya hanya diikuti oleh enam hingga delapan tim dan tahun ini membengkak menjadi 32 tim.
Dan jelas skor 0-10 sama sekali tidak menggambarkan slogan tersebut.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.