Jakarta (ANTARA) - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menekankan pentingnya keberanian untuk melihat sejarah secara jernih dan tetap dengan empati serta tidak menanggalkan akal sehat.
"Setiap luka sejarah harus kita hormati. Tapi, sejarah bukan hanya tentang emosi, ia juga tentang kejujuran pada data dan fakta," kata Fadli Zon dalam keterangannya yang diterima, Selasa.
Menanggapi kritik atas istilah "massal" pada tragedi Mei 1998, dia mengatakan tidak menyangkal kekerasan seksual yang terjadi, namun, ingin mengajak semua pihak berhati-hati agar narasi sejarah tidak jatuh pada simplifikasi yang justru menyulitkan pencarian keadilan sejati.
“Ini bukan soal menyangkal korban. Ini soal menghindari penyimpulan yang terlalu cepat, yang justru bisa membuat luka makin dalam dan kebenaran makin kabur,” ujar Fadli Zon.
Baca juga: Menbud buka suara soal pernyataan tentang tragedi Mei 1998
Kata "massal" bisa bermakna luas dan memerlukan bukti yang teruji secara akademik maupun legal. Dia mengutip laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tahun 1998, yang memang mencatat adanya kekerasan seksual, namun, belum menyebut pola sistematis yang mengarah pada kategori "massal" secara hukum internasional.
Fadli Zon menegaskan dia tak pernah menihilkan penderitaan para korban dan menyatakan dukungan penuh kepada penguatan institusi seperti Komnas Perempuan dan mekanisme keadilan transisional.
“Empati tidak harus emosional. Empati juga berarti memastikan bahwa setiap peristiwa dipahami dalam proporsinya yang benar, agar keadilan bisa ditegakkan tanpa keraguan,” kata dia.
Fadli Zon menyatakan bahwa tugas negara adalah menghormati korban dan memastikan bahwa sejarah ditulis dengan bertanggung jawab, bukan berdasarkan tekanan atau sensasi. Dia juga mengajak publik memberi ruang bagi para sejarawan, akademisi, dan lembaga resmi untuk menyusun narasi dengan penuh tanggung jawab.
Dia juga menambahkan polemik itu bisa menjadi momentum untuk bersama-sama menolak lupa dan manipulasi, bukan untuk saling menyerang, agar tidak ada luka penyintas yang dikaburkan dan membuat fakta sejarah dengan asumsi yang belum tuntas.
“Sejarah yang adil adalah yang bisa menampung air mata, tapi juga bisa menyaring dusta,” pungkas Fadli Zon.
Sejarah adalah, kata Fadli Zon, bagaimana kita sebagai bangsa menulisnya dengan kepala dingin, hati terbuka dan kaki yang berpijak pada fakta.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Pratikno dalam siaran yang sama menyatakan Menbud Fadli Zon tidak membantah peristiwa tersebut, namun, mempertanyakan penggunaan istilah "massal", yang secara akademik diperdebatkan.
Baca juga: Fadli Zon: Istilah massal kasus perkosaan Mei 1998 butuh bukti akurat
Baca juga: DPR minta klarifikasi Fadli Zon soal tak ada pemerkosaan massal '98
Baca juga: PCO: Penulisan sejarah '98 dikawal sejarawan profesional
Baca juga: Komnas Perempuan kritisi pernyataan Menbud soal kekerasan seksual 98
Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.