Program cofiring biomassa tidak hanya mengubah arah pengelolaan energi nasional menuju energi bersih, melainkan juga membuka lapangan kerja bagi masyarakat tempatan.

Jakarta (ANTARA) - Transisi ke energi hijau menjadi salah satu langkah pemerintah Indonesia untuk menanggulangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim yang sudah ada di depan mata.

Indonesia menargetkan persentase penurunan emisi gas rumah kaca dari 17,02 persen pada 2023 ke 18,37 persen di tahun 2025, dan mencapai 21,12 persen pada 2029 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN 2025-2029).

PT PLN (Persero), BUMN yang mengemban tugas menyediakan pasok listrik ke seluruh penjuru negeri, melakukan berbagai cara untuk mengurangi penggunaan energi fosil dan mulai beralih ke energi hijau.

Sejak tahun 2020, perusahaan pelat merah ini secara bertahap mengurangi penggunaan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan memanfaatkan biomassa sebagai bahan bakar pencampur. Teknologi ini disebut cofiring biomassa.

Biomassa adalah bahan organik yang berasal dari makhluk hidup yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Limbah pertanian, limbah kayu, sampah organik, dan kotoran hewan adalah beberapa contoh biomassa.

Di dalam laporan tahunan PLN 2024, ada 47 PLTU yang telah mengimplementasikan cofiring biomassa guna menghasilkan daya listrik 1,67 juta Megawatt hour (Mwh). Teknologi tersebut memang baru menyumbang bauran Energi Baru Terbarukan atau EBT sebesar 1,86 persen, namun ini diklaim mampu menurunkan emisi karbon sebesar 1,87 juta ton CO2 pada tahun tersebut.

Konsumsi biomassa untuk PLTU mencapai 1,62 juta ton, tumbuh signifikan dari 1 juta ton pada 2023. Bahan bakunya mayoritas berasal dari limbah kayu, limbah pertanian dan perkebunan, serta bahan bakar jumputan padat (BBJP).

Transisi energi dengan memanfaatkan biomassa, selain akan mengurangi emisi karbon, juga diklaim memberi manfaat ekonomi bagi rumah tangga masyarakat sekitar.

Tim ANTARA mencoba menelusuri bagaimana cara PLN memenuhi pasokan cofiring biomassa, sekaligus untuk membuktikan klaim tersebut.

Keterkaitan kaum marginal

Rini Andriati (kiri) bersama warga lainnya mengumpulkan limbah sekam padi untuk kebutuhan sumber energi terbarukan di Desa Pasie Teungoh, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Selasa (29/4/2025). (ANTARA/Khalis Surry)

Merah jingga cahaya fajar baru saja merekah di ufuk timur, saat suara riuh anak-anak yang bersiap ke sekolah terdengar dari balik dinding sebuah rumah mungil di Desa Ranto Panjang Timur, Kecamatan Mereubo, Kabupaten Aceh Barat. Tangan Rini Andriati tampak lincah menyapu lantai sambil mondar-mandir menyiapkan bekal dan seragam sekolah untuk kedua buah hatinya.

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.