Jakarta (ANTARA) - Indonesia saat ini berada di persimpangan sejarah demografinya. Momentum bonus demografi, yakni situasi ketika penduduk usia produktif (15–64 tahun) lebih besar dari penduduk non-produktif, telah menjadi perbincangan strategis dalam berbagai agenda pembangunan nasional.

Dalam konteks ini, kelompok pemuda (berusia 16–30 tahun sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan) memainkan peran sentral. Namun, apakah kebijakan kita terhadap pemuda sudah cukup adaptif terhadap dinamika zaman? Apakah Undang-Undang Kepemudaan yang telah berusia lebih dari 15 tahun itu masih relevan menjawab tantangan yang dihadapi generasi muda Indonesia hari ini?

Berdasarkan Statistik Pemuda Indonesia 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat sekitar 64,63 juta jiwa atau 23,45 persen dari total penduduk Indonesia tergolong pemuda. Hal ini bukan sekadar angka statistik, tetapi menjadi potensi besar bangsa ini. Akan tetapi, di tengah peluang demografis, pemuda Indonesia justru menghadapi berbagai persoalan struktural.

Pertama, dari aspek pendidikan, masih terdapat kesenjangan yang mencolok. Sekitar 33,15 persen pemuda hanya berpendidikan sampai jenjang SMP atau lebih rendah. Akses terhadap pendidikan tinggi masih didominasi oleh kelompok yang tinggal di perkotaan dan memiliki latar belakang ekonomi menengah ke atas. Ketimpangan ini membuat daya saing pemuda Indonesia di tingkat nasional dan global belum optimal.

Kedua, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda mencapai 13,19 persen, jauh lebih tinggi dari angka nasional yang berada di kisaran 5,3 persen. Artinya, satu dari setiap delapan pemuda aktif di pasar kerja mengalami pengangguran. Ini memperlihatkan bahwa sistem pendidikan dan pelatihan belum sepenuhnya sinkron dengan kebutuhan dunia kerja.

Ketiga, dari sisi kesejahteraan sosial, kelompok pemuda masih rentan terhadap kemiskinan multidimensi. Akses terhadap layanan kesehatan mental, perumahan layak, hingga partisipasi politik dan ekonomi belum merata. Kita menyaksikan peningkatan kecemasan dan ketidakpastian di kalangan pemuda, termasuk meningkatnya fenomena “NEET” (Not in Employment, Education, or Training) yang berdampak pada kualitas kohesi sosial.

Terkait dengan pengaturan tentang kepemudaan, saat ini sesungguhnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009. UU ini hadir dalam konteks transisi demokrasi pasca reformasi, dengan semangat mendorong partisipasi pemuda dalam pembangunan. Namun, setelah 15 tahun, lanskap sosial, politik, dan ekonomi tentunya telah berubah. Undang-undang ini pun, dinilai belum cukup responsif terhadap tantangan kontemporer. Misalnya, tidak ada pasal yang secara eksplisit mengatur perlindungan terhadap pemuda dari eksploitasi digital, radikalisasi daring, ataupun ketimpangan akses terhadap teknologi dan informasi. Padahal, inilah realitas kehidupan pemuda hari ini.

Lebih dari itu, UU Kepemudaan belum menempatkan isu ketenagakerjaan, kewirausahaan, dan pembangunan keterampilan (skilling–reskilling–upskilling) sebagai elemen sentral. Padahal, di era disrupsi dan ekonomi digital, keterampilan adaptif menjadi hal yang diperlukan saat ini. Oleh karena itu, penting untuk kita meninjau kembali keberadaan UU tersebut, sebagaimana Komisi X, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang memasukkan agenda revisi UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaaan dalam rencana program legislasi nasional (Prolegnas) periode 2025 hingga 2029.

Revisi untuk Masa Depan: Menyusun Kebijakan yang Berangkat dari Data

Merevisi Undang-Undang Kepemudaan bukan semata soal menyisipkan pasal baru atau memperluas definisi lama. Revisi harus dilandasi oleh perubahan paradigma dalam menyusun kebijakan publik. Di tengah kompleksitas tantangan yang dihadapi pemuda saat ini, negara tidak bisa lagi bertumpu pada pendekatan yang seragam dan simbolik. Diperlukan fondasi kebijakan yang berangkat dari realitas empiris—kebijakan yang berbasis data dan riset mendalam.

Langkah awal dari proses ini adalah kemampuan negara dalam merumuskan masalah secara tepat. Data Statistik Pemuda 2024 telah memberikan petunjuk awal yang sangat penting. Ketimpangan akses pendidikan, tingginya angka pengangguran pemuda, serta kerentanan kesejahteraan sosial bukanlah sekadar anomali, tetapi gejala sistemik yang membutuhkan intervensi lintas sektor.

Namun tanpa mekanisme perumusan masalah yang baik—yang ditopang oleh sistem data yang kuat, komprehensif, dan terkini—kebijakan akan terus bersifat tambal sulam dan gagal menyasar akar persoalan.

Dalam kajian kebijakan publik, William N. Dunn (2003) mengingatkan tentang pentingnya menghindari kesalahan tipe ketiga, yaitu kesalahan dalam mendefinisikan atau merumuskan masalah yang sebenarnya sedang dihadapi. Kesalahan “tipe ketiga” dijelaskan oleh Kimball, sebagaimana dikutip oleh Mittroff dan Betz (1972) sebagai “kesalahan yang dilakukan dengan memberi jawaban terhadap masalah yang salah”. Kegagalan dalam menemukan permasalahan yang tepat akan membuat permasalahan akan selalu berulang.

Kesalahan ini bersifat paling mendasar karena ketika masalah tidak dirumuskan dengan tepat, maka solusi kebijakan apa pun yang diambil—sebaik apa pun desain dan intensinya—akan meleset dari sasaran. Di sinilah urgensi penggunaan riset dan analisis kebijakan berbasis bukti menjadi tak terelakkan.

Tanpa riset yang memadai, pembuat kebijakan bisa terjebak pada asumsi, persepsi sempit, atau tekanan jangka pendek yang tidak merefleksikan kebutuhan riil masyarakat, khususnya kelompok pemuda.

Penyusunan kebijakan pemuda harus mulai menempatkan pemuda sebagai subjek data, bukan sekadar objek dari program. Artinya, penting untuk mengembangkan sistem pelacakan longitudinal terhadap kehidupan pemuda, baik dalam pendidikan, pelatihan kerja, hingga akses terhadap layanan dasar dan peluang berwirausaha. Hanya dengan begitu, kita dapat mengidentifikasi hambatan struktural yang dialami pemuda sejak usia dini hingga dewasa awal.

Selain itu, kebijakan harus mampu menjawab kebutuhan kontekstual pemuda di berbagai wilayah. Pemuda di desa menghadapi persoalan yang berbeda dengan mereka yang tinggal di kota besar. Yang satu bergulat dengan keterbatasan akses infrastruktur digital, sementara yang lain dihadapkan pada kompetisi pasar kerja yang semakin tidak menentu. Tanpa disertai data spasial dan demografis yang presisi, kebijakan cenderung menghasilkan pendekatan yang homogen dan tidak adil.

Di sisi lain, revisi UU Kepemudaan juga perlu membuka ruang untuk pendekatan partisipatif yang sungguh-sungguh. Artinya, penting untuk melibatkan suara-suara pemuda itu sendiri—baik dari organisasi/ komunitas kepemudaan, komunitas adat, pemuda difabel, hingga pelaku inovasi digital. Ketika data kuantitatif dipadukan dengan narasi dan pengalaman hidup pemuda, kita akan mendapatkan kebijakan yang lebih inklusif dan berdaya guna.

Lebih jauh, revisi ini juga merupakan momentum untuk membangun ekosistem kebijakan kepemudaan yang berkelanjutan. Kebijakan tidak boleh berhenti pada satu periode pemerintahan. Ia harus menjadi bagian dari agenda jangka panjang pembangunan nasional, disusun dengan indikator yang terukur dan dapat dievaluasi secara berkala. Di sinilah pentingnya membangun sistem monitoring dan evaluasi berbasis data, sehingga negara tidak hanya mengetahui sejauh mana kebijakan dijalankan, tetapi juga apakah ia benar-benar membawa perubahan.

Dengan penyusunan kebijakan yang berbasis data, perumusan masalah yang tajam, dan partisipasi yang bermakna, revisi Undang-Undang Kepemudaan bukan hanya menjadi dokumen hukum, tetapi wujud nyata dari keseriusan negara dalam mengelola bonus demografi. Sebab, hanya dengan kebijakan yang ditopang oleh pengetahuan dan keberpihakan yang jelas, kita dapat memastikan bahwa pemuda Indonesia tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya besar secara jumlah, tetapi juga unggul secara kualitas.

Indonesia menargetkan menjadi negara maju pada 2045, tepat 100 tahun kemerdekaan. Untuk itu, kebijakan pemuda tidak bisa lagi bersifat simbolik. Kita membutuhkan kerangka hukum dan kelembagaan yang visioner dan adaptif, bukan hanya responsif terhadap gejala hari ini.

Revisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan adalah langkah awal yang sangat penting. Ia harus menjadi fondasi bagi transformasi peran pemuda sebagai lokomotif perubahan, bukan hanya penumpang dalam kereta pembangunan. Kalau bonus demografi adalah peluang satu abad sekali, maka kebijakan pemuda hari ini adalah taruhan bagi masa depan bangsa.

*) Arfianto Purbolaksono, Tim Asistensi Staf Khusus Menteri Pemuda dan Olahraga RI.
*) Artikel ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili institusi

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.