"Saatnya RUU KUHAP direvisi. Bisa di bayangkan itu sejak 1981 sampai 2025, sudah waktunya memang untuk diperbaiki. Karena kalau menurut teori hukum yang baik, adalah hukum yang mampu mengikuti perkembangan,"

Makassar (ANTARA) - Civitas Akademika Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar turut membahas revisi Rencana Undang-undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang kini sedang diproses pemerintah dan DPR RI.

"Saatnya RUU KUHAP direvisi. Bisa di bayangkan itu sejak 1981 sampai 2025, sudah waktunya memang untuk diperbaiki. Karena kalau menurut teori hukum yang baik, adalah hukum yang mampu mengikuti perkembangan," kata Akademisi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Muh Amiruddin di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu.

Ia berharap dalam revisi RUU KUHAP tersebut yang membahas adanya kebebasan bagi masyarakat ketika diperhadapkan dengan hukum, bebas memberikan keterangan tanpa intimidasi dari penegak hukum, adalah hal tepat serta memenuhi hak asasi manusia.

Anggota Komisi I DPR RI Dr Syamsu Rizal MI menyampaikan pada Seminar Legislatif Nasional bertema Revisi RUU KUHAP Sebuah Urgensi Nasional dalam Mewujudkan Keadilan, di kampus setempat, bahwa revisi RUU KUHP merupakan urgensi strategis mewujudkan sistem peradilan yang adil dan modern.

Isu strategis yang dibahas pada RUU tersebut yakni adanya ketimpangan kekuasaan, lemahnya perlindungan tersangka dan korban, dimana hak-hak dasar tidak diatur secara operasional dan tegas.

Baca juga: Komisi III DPR sepakat impunitas advokat masuk RUU KUHAP

Baca juga: Komunitas advokat usul keterangan ahli jadi alat bukti dalam RUU KUHAP

"Termasuk menjadi tantangan di era digital yang belum ada mekanisme jelas untuk bukti elektronik, penyadapan digital dan penggeledahan cloud serta keadilan restoratif yang tidak komprehensif," paparnya.

Hal senada disampaikan Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasi Penkum) Kejaksaan Tinggi Sulsel Soetarmi mengemukakan, ada hal yang menarik yang perlu yang perlu dimasukkan dalam RUU KUHAP yaitu peran jaksa dalam penyelesaian perkara melalui pendekatan restoratif.

"Restorative Justice atau RJ, bukan hanya soal penyelesaian perkara. Ini cara baru negara menghadirkan keadilan lebih manusiawi, adil, dan bermartabat. Untuk itu, peran jaksa sebagai pengendali perkara, harus menjadi pilar utama RJ dalam sistem hukum pidana Indonesia," tuturnya.

Sementara Ketua Dewan Kehormatan Peradi Sulsel Tadjuddin Rachman memaparkan hasil penelitian mengenai penegak hukum. Ia menyebut bahwa setiap ada Undang undang yang baru harus selalu diikuti dengan infrastruktur yang mengikuti perubahan dalam sebuah peraturan.

Kasubbid Sunluhkum Bidkum Polda Sulsel Heriyanto menambahkan, terkait RJ dimana ada perbedaan antara Kriminal Justice dengan Restorative Justice. Kriminal Justice memandang bahwa kejahatan adalah suatu pelanggaran terhadap hukum dan negara. Sedangkan RJ memandang kejahatan adalah suatu pelanggaran terhadap rakyat.

"Sekarang waktunya mahasiswa untuk memahami lebih dalam terhadap teori-teori hukum yang telah di pelajari di kelas, dipadukan dengan pengalaman praktik lapangan serta ilmu hukum dari narasumber," kata Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Dr Abd Rauf Muhammad Amin menekankan.

Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.