Gig economy menjadi peluang bagi perempuan, karena ada fleksibilitas bekerja paruh waktu, terutama dengan adanya teknologi digital, yang memungkinkan perempuan bisa mengatur waktunya
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyampaikan bahwa ekonomi gig atau gig economy menjadi salah satu solusi untuk memacu tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Woro Srihastuti Sulistyaningrum di Jakarta Kamis mengemukakan, teknologi digital yang kini semakin berkembang menawarkan fleksibilitas dari gig economy untuk memudahkan perempuan yang bekerja sambil tetap menjalankan pengasuhan.
"Gig economy menjadi peluang bagi perempuan, karena ada fleksibilitas bekerja paruh waktu, terutama dengan adanya teknologi digital, yang memungkinkan perempuan bisa mengatur waktunya," kata Woro.
Baca juga: Komnas Perempuan apresiasi perkembangan RUU PPRT di DPR
Namun, menurutnya, peningkatan kapasitas perempuan di dunia kerja masih menjadi suatu keharusan yang mesti dipenuhi untuk menjawab tantangan yang semakin beragam di era digital.
Selain itu, pemenuhan hak-hak dasar seperti kesehatan dan pendidikan juga mesti dipenuhi oleh pemerintah untuk mendukung peningkatan TPAK bagi perempuan di dunia kerja.
"Untuk meningkatkan TPAK perempuan di dunia kerja, kita juga mesti melihat sisi permintaan dan penawaran. Mesti ada evaluasi juga, adakah kebijakan pasar yang masih tidak responsif gender? Namun, untuk meyakinkan perempuan agar mau bekerja itu peluangnya masih ada dengan teknologi," ujar dia.
Baca juga: 10 negara dengan pekerja perempuan tertinggi di dunia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selama satu tahun terakhir (Februari 2024-2025), peningkatan TPAK perempuan lebih tinggi dari TPAK laki-laki.
Pada Februari 2024, TPAK laki-laki sebesar 84,02 persen, sedangkan pada Februari 2025 sebesar 84,34 persen, hanya meningkat sebesar 0,32 persen. Sementara, TPAK perempuan pada Februari 2024 sebesar 55,41 persen, sedangkan pada Februari 2025 meningkat sebesar 1,37 persen menjadi 56,78 persen.
Meski sudah ada peningkatan, kesenjangan TPAK perempuan dan laki-laki masih saja terjadi, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya norma sosial budaya mengenai perempuan yang bekerja dan peran gender tradisional, serta beban ganda perempuan dalam keluarga produktif dan reproduktif.
Baca juga: Urgensi melindungi "female breadwinners"
Kemudian, masih adanya pelanggaran hak pekerja, terutama perempuan di tempat bekerja, serta kebijakan, regulasi, dan kondisi di tempat kerja yang kurang mendukung serta diskriminatif, mulai dari penerimaan, saat kerja, dan purnakerja.
"Kebijakan untuk memperluas kesempatan kerja yang setara perlu dilengkapi dengan pasar tenaga kerja yang aktif dan kebijakan perlindungan sosial yang memungkinkan perempuan untuk bergabung dan tetap bekerja, serta mendukung perempuan untuk bergabung kembali," ucap Woro.
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.