Jakarta (ANTARA News) - Jaksa mendakwa mantan Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana menerima uang 140 ribu dolar AS (sekitar Rp1,6 miliar) dari Waryono Karno saat menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait pembahasan anggaran di kementerian tersebut.

Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi Dody Sukmono menyatakan bahwa Sutan menerima uang itu melalui Iryanto Muchyi selaku staf tenaga ahlinya.

Menurut jaksa, pemberian uang itu dilakukan untuk mempengaruhi Sutan selaku Ketua Komisi VII DPR guna mempengaruhi anggota Komisi VII DPR dalam pembahasan dan penetapan asumsi dasar migas, asumsi dasar subsidi listrik dan pengantar pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran-Kementerian dan Lembaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 di Kementerian ESDM dalam rapat kerja komisi dengan kementerian.

Pemberian uang awal dilakukan dalam pertemuan di Restoran Edoginn Hotel Mulia Senayan sekitar pukul 21.00 WIB antara Sutan Bhatoegana dan stafnya Muhammad Iqbal dengan Waryono Karno yang ditemani Didi Dwi Sutrisnohadi selaku Kepala Biro Keuangan dan Ego Syahrial selaku Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama kementerian saat itu.

Dalam pertemuan itu Sutan membicarakan pembahasan tiga bahan rapat kerja Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR yang akan diadakan 28 Mei.

Untuk melancarkan pembahasan dalam rapat kerja tersebut, Waryono Karno memita kepada terdakwa yang bertugas memimpin rapat komisi agar mengawal rapat kerja sehingga dapat "diatur".

"Saat itu terdakwa menyanggupi dengan mengatakan akan mengendalikan raker antara Kementerian ESDM dengan Komisi VII DPR pada 28 Mei 2013, dan terdakwa juga mengatakan 'nanti kalau ada apa-apa bisa kontak orang saya yang bernama Iryanto Muchyi'," kata jaksa Dody.

Pada 28 Mei, sebelum rapat kerja di DPR berlangsung, Didi diminta Waryono menyiapkan dana untuk Komisi VII DPR dengan berkata "buka gendangnya di sini" tapi karena Didi tidak menyangupi Waryono meminta Ego membantu Didi dan menyuruhnya menelepon Tenaga Ahli Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Hardiono.

Setelah berhasil menghubungi Hardiono, telepon lalu diserahkan ke Waryono dan dalam pembicaraan telepon tersebut Waryono meminta bantuan dana untuk Komisi VII.

Selanjutnya Waryono berkata kepada Didi "Tunggu saja di ruang rapat kecil, nanti ada dari SKK Migas agar diterima".

Pada saat yang bersamaan, di ruang Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini selaku Kepala SKK Migas saat itu menyuruh Hardiono menyerahkkan tas kertas warna perak bergambar BP Migas kepada Didi dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Sekretariat Jenderal Asep Permana. Tas kertas itu berisi uang pecahan dolas AS.

Selanjutnya Waryono Karno menetapkan pembagian uang tersebut, masing-masing 7.500 dolar AS untuk pimpinan Komisi VII DPR, 2.500 dolar AS kepada 43 anggota Komisi VII dan 2.500 dolar AS untuk Sekretariat Komisi VII.

Uang kemudian dimasukkan ke dalam amplop putih dengan kode di bagian pojok kanan atas dengan huruf "A" artinya Anggota, "P" artinya Pimpinan dan "S" artinya Sekretariat.

Siang itu juga Iryanto Muchyi bersama anaknya bernama Muhammad Agus Sumarta mendatangi kantor Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM.

Iryanto kemudian bertemu dengan Didi dan mengambil tas kertas berisi amplop-amplop berisi uang itu. Ketika itu Didi berpesan: "Ini tolong disampaikan kepada Pak Sutan untuk dibagikan sesuai yang di dalam amplop".

"Iryanto pun mendatangani tanda terima uang tersebut dengan tulisan 'Lumpsum LN; 4 pimpinan, 20 anggota, 6 pendamping', 'RDP: 4 pimpinan, 43 anggota, sekretariat'," kata jaksa.

Iryanto kemudian pergi ke gedung Nusantara DPR di Senayan dan sesampainya di sana mengajak Muhammad Iqbal masuk ke mobil dan mengatakan, "Iqbal ini kasihkan ke Pak Sutan, letakkan di meja pimpinan, ini paket Iqbal, ini ada kode-kodenya, untuk P=Pimpinan, A=Anggota, S=Sekretariat Komisi VII."

Saat Iqbal membawa tas ke ruang kerja Sutan, Sutan berbisik, "Jangan di sini, nanti dilihat orang. Bawa ke mobil, sana simpan di mobil".

Kemudian Iqbal keluar dan melihat salah satu amplop bertulis huruf "S" robek dan muncul uang pecahan 100 dolar AS sehingga Iqbal pun meminta amplop pengganti untuk amplop sobek tersebut.

Iqbal kemudian menelepon supir Sultan, Casmadi, dan memasukkan tas kertas berisi amplop berisi uang pecahan dolar AS itu ke mobil Alphard milik Sutan.

Atas perbuatannya itu, Sutan didakwa dengan pasal berlapis yaitu pasal 12 huruf a subsider Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf b dan lebih subsider pasal 11 UU No 31 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasar tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Ancaman pidana atas pelanggaran ketentuan itu maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Selain didakwa menerima uang dari Waryono Karno, Sutan juga didakwa menerima hadiah-hadiah lain yaitu satu mobil Toyota Alphard dari Direktur PT Dara Trasindo Eltra Yan Achmad Suep, uang tunai Rp50 juta dari Menteri ESDM 2011-2014 Jero Wacik, uang tunai 200 ribu dolar AS dari Kepala SKK Migas Januari-Agustus 2013 Rudi Rubiandini, dan rumah sebagai posko pemenangan dari pengusaha Saleh Abdul Malik.

Atas dakwan itu Sutan menyatakan akan mengajukan nota keberatan (eksepsi).

"Tentu saja keberatan. Saya minta pengunduran waktu sidang karena saya berhubungan dengan mereka (pengacara) agak sulit, tidak seperti saat di (rutan) Salemba setiap saat bisa ketemu dan bawa dokumen, di sini serba ketat dan susah, saya kira kalau ibu berkenan diundur sedikit untuk kita lebih bagus," kata Sutan.

"Waktu sidang tetap Senin, 20 april kalau tidak diajukan tanggal itu maka dianggap tidak mengajukan keberatan, penuntut umum silakan mengajukan saksi," kata ketua majelis hakim Artha Theresia.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015