akun atas nama Gubernur DKI Jakarta atau Wali Kota Bandung cenderung lebih berpotensi jadi bahan agenda setting media arus utama jika dibanding akun media sosial institusi pemda bersangkutan."
Jakarta (ANTARA News) - Lahirnya fenomena media sosial yang menjadi keniscayaan sebagai konsekuensi logis dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memaksa pengelola media arus utama cetak memperbarui visi mereka dalam menjalankan misinya sebagai penyedia informasi kepada masyarakat.

Satu per satu, pelan namun pasti, media arus utama cetak, menyusut, menurun oplah penerbitannya dan tidak sedikit yang menghentikan edisi cetaknya untuk mengubah kehadirannya dalam bentuk digital. Media arus utama cetak yang masih sintas pun melengkapi dirinya dengan kehadiran saudara kembarnya dalam wujud situs berita untuk melayani pembacanya, terutama dalam pemberitaan seketika.

Situs-situs berita yang tergolong sebagai media arus utama pun membuka berbagai kanal untuk berinteraksi dengan pembacanya. Pada titik inilah media main-"stream" menyediakan tautan ke media sosial, yang paling lazim adalah "e-mail" (surat elektronik), facebook, dan twitter. Semua ini ditempuh untuk membangun sebanyak mungkin interkoneksi dalam jaring-jaring sosial dengan pembaca. Tentu ada filosofi yang lebih jauh dari sekadar pelayanan informasi, yakni usaha meraih hegemoni politik dan ekonomi.

Saat ini, tidak satu pun media arus utama, baik yang cetak maupun yang elektronik, yang terlepas sama sekali dari pengaruh pemodal dan pengendali kuasa politik. Akan tetapi, dimensi ini bukan menjadi bahasan di sini.

Bagi pengelola media arus utama, media sosial yang juga diakuisisi sebagai bagian dari dirinya merupakan kekuatan sosial, bahkan politik yang takbisa diabaikan begitu saja. Itu sebabnya, kini entitas apa pun, entah itu institusi pemerintah ataupun swasta, bisnis maupun nonbisnis, menjadikan media sosial sebagai salah satu rujukan penting dalam menjaring umpan balik atas kebijakan yang hendak dilahirkan.

Pemerintah daerah, sebagai institusi pemerintah, pun takbisa menafikkan eksistensi media sosial dalam usaha memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat. Bahkan, bukan hanya berhenti pada ranah institusional, para kepala daerah yang memimpin pemerintahan di daerah pun kini telah memiliki akun media sosial pribadi yang difungsikan untuk memperkuat penjaringan umpan balik atau aspirasi dari publik di wilayahnya. Ini semua memperlihatkan bahwa ada keseriusan di lingkungan pemerintahan daerah untuk memanfaatkan media sosial sebagai ajang memperoleh masukan maupun penyebaran informasi publik. Namun, tentu keseriusan itu tampaknya masih di tataran kesadaran personal para pimpinan dan ini pun berkorelasi dengan persepsi masing-masing pimpinan dalam memaknai media sosial sebagai medium berinteraksi dan berinterkoneksi dalam jejaring internet.

Untuk membuktikan hipotesis bahwa tingginya kesadaran personal pimpinan di pemerintahan daerah atas pentingnya atau strategisnya media sosial dalam menjaring aspirasi dan distribusi kebijakan publik bisa ditengok pada kasus-kasus di bawah ini.

Akun media sosial yang berelasi dengan pribadi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dengan nama akun twitter basuki_btp telah merilis kicauan sebanyak 2.165 sampai pukul 10.00 WIB per 10 April 2015. Akun gubernur yang dikenal berwatak temperamental ini diikuti oleh lebih dari 2, 6 juta netizen. Akun ini tentu jauh lebih populer jika dibandingkan dengan akun twitter institusional Pemprov DKI Jakarta yang sejak dibuka pada bulan Mei 2010 hanya melepas kicauannya sebanyak 15 kali, dan diikuti oleh sekitar 3.000 netizen.

Fenomena serupa terjadi di lingkungan Pemerintah Kota Bandung, yang dikomandoi oleh sosok M. Ridwan Kamil yang popularitasnya relatif cukup tinggi di dunia maya.

Sosok yang dipanggil Kang Emil ini telah men-"tweet" lebih dari 37.000 kali dengan pengikut lebih dari satu juta pengguna akun twitter. Sementara itu, akun Pemkot Bandung yang diikuti oleh 34 ribu orang melakukan tweet kurang dari 50 persen atau sekitar 13 ribu kali.

Tentu dua sosok di atas takbisa dijadikan prototipe kepala daerah di Tanah Air dalam menyikapi media sosial sebagai wahana berinteraksi dengan warga. Kontras dengan dua sosok di atas adalah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengku Buwono X, yang tak berminat membuka akun media sosial twitter. Namun, kekosongan itu diisi oleh akun media sosial institusi Pemprov DIY, yang membuka akun twitter dengan memberikan tautan SMS Center dan surat elektronik (surel): aspirasi@dprd_diy.go.id.

Kebijakan pemda-pemda di Tanah Air dalam memandang strategisnya media sosial sebagai wahana penyebaran kebijakan publik agaknya tak mengurangi peran penting media arus utama. Hal itu terbukti dengan banyaknya pemda di Nusantara ini yang menjalin kerja sama dengan situs-situs media arus utama, termasuk antaranews.com untuk mempublikasikan kebijakan publik mereka.

Perkembangan jumlah netizen di Indonesia yang relatif cukup pesat, kini oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi ditaksir sudah mencapai 63 juta orang, dan 95 persen di antara mereka menggunakan akun media sosial untuk berinteraksi dalam jejaring internet. Perkembangan ini tentu akan makin meningkatkan perhatian dan keseriusan para pengambil kebijakan di lingkungan pemda di Indonesia untuk menjadikan media sosial sebagai sarana yang niscaya dalam memperoleh masukan atau aspirasi masyarakat sekaligus medium untuk mendistribusikan kebijakan publik mereka.

Perbaikan sarana publik, seperti perbaikan jalan-jalan yang rusak, gorong-gorong yang mampet, telah dilakukan oleh pemda atau kepanjangan tangannya di tataran dinas setelah mendapat masukan dari netizen di media sosial. Interaksi pengambil kebijakan publik dan warga lewat media sosial di jejaring internet ini akan meminimalisasi aksi blusukan para pejabat, tentunya.

Wacana tentang bagaimana media arus utama menjadikan akun media sosial pemerintah daerah sebagai sumber untuk informasi kebijakan publik akan diuraikan berikut ini. Media "mainstream" tentu tetap berpegang pada prinsip jurnalisme yang sudah menjadi hukum besi bahwa setiap sumber informasi, apa pun format dan kontennya, akan dijadikan salah satu sumber dan bukan sumber satu-satunya. Media arus utama tetap berlandasan pada sikap kritis dan skeptis bahwa semua informasi harus dicek dan cek ulang dengan melakukan konfirmasi pada otoritas sumber berita. Informasi mengenai kebijakan publik pemerintah daerah yang diperoleh jurnalis arus utama lewat akun media sosial menjadi bahan mentah untuk melakukan wawancara lebih lanjut kepada pengambil kebijakan terkait.

Dengan demikian, media arus utama tetap memperlakukan media sosial sebagai sumber informasi. Tentu, tingkat kepentingan atau nilai beritanya akan menentukan apakah informasi kebijakan publik itu bisa dijadikan berita seketika atau masih harus diperkaya dengan melakukan wawancara lebih lanjut. Tak tertutup kemungkinan bahwa dari informasi di media sosial itu akan muncul inspirasi bagi jurnalis media arus utama untuk menulis "feature" berkedalaman, atau "in-depth reporting".

Media arus utama pun menyikapi isu-isu yang berkembang di media sosial terkait dengan kebijakan publik dengan berpegang pada prinsip dasar jurnalisme.

Perlu dicatat, dalam setiap rapat-rapat redaksi yang diselenggarakan secara rutin tiap hari maupun berkala sepekan sekali, perencanaan pemberitaan yang dikemas sebagai agenda setting, para anggota dewan redaksi selalu membekali diri dengan informasi aktual yang datang dari berbagai sumber.

Salah satu sumber itu adalah media sosial, yang dalam hal ini berupa informasi kebijakan publik yang dirilis oleh akun media sosial pemerintahan daerah.

Tentu semua ini terpulang pada sejauhmana pengelolaan media sosial dari pemda itu merilis kontennya dengan aktual. Yang jelas, dengan akun atas nama Gubernur DKI Jakarta atau Wali Kota Bandung cenderung lebih berpotensi jadi bahan agenda setting media arus utama jika dibanding akun media sosial institusi pemda bersangkutan.

Kalau boleh berharap, sebaiknya akun-akun media sosial pemda lah yang perlu lebih dikelola secara ajek dan aktual sehingga pengikutnya makin melimpah sehingga makin banyak ditengok jurnalis media arus utama untuk dijadikan bahan dalam penentuan agenda setting pemberitaan.

Oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015