Langkah selanjutnya yang dapat ditempuh adalah menetapkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) dengan status sebagai kawasan konservasi pesisir.
Jakarta (ANTARA) - Pada Selasa, 17 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto memimpin rapat terbatas di Istana Kepresidenan dan mengambil keputusan penting: empat pulau —Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek (Mangkur Ketek)— dinyatakan resmi kembali berada di wilayah Provinsi Aceh.
Keputusan cepat dan tepat dari pemerintah pusat untuk mengembalikan empat pulau kecil tersebut ke wilayah administrasi Provinsi Aceh bukan hanya merespons dinamika politik dan legalitas batas wilayah, tetapi juga membuka peluang strategis untuk menjaga dan mengelola ekosistem pesisir yang selama ini luput dari perhatian.
Meski tampak bersifat administratif, konflik ini menyimpan implikasi langsung pada isu konservasi, keanekaragaman hayati, dan kualitas ekosistem pesisir.
Keputusan ini merupakan koreksi atas Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menyatakan bahwa keempat pulau itu masuk wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.
Koreksi tersebut didasarkan pada data historis dan yuridis yang sah, seperti Kepmendagri No. 111 Tahun 1992 yang menegaskan keempat pulau tersebut adalah bagian dari Kabupaten Aceh Singkil; peta topografi TNI AD tahun 1978, serta dokumen batas wilayah dan penanda geografis yang telah digunakan oleh pemerintah sejak masa Orde Baru.
Kesalahan pencatatan koordinat oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi pada tahun 2008 menyebabkan keempat pulau tersebut secara keliru dicatat dalam basis data Sumatera Utara.
Kehadiran Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Mensesneg Prasetyo Hadi dalam penandatanganan berita acara kesepakatan wilayah pada 18 Juni 2025 memperkuat legitimasi keputusan tersebut. Mendagri bahkan menyatakan bahwa revisi SK akan segera diterbitkan agar empat pulau tersebut diakui kembali secara resmi sebagai bagian dari Provinsi Aceh.
Keputusan administratif mengenai perubahan status wilayah pesisir tidak hanya berdampak secara yuridis dan politik, tetapi juga memiliki implikasi ekologis yang signifikan. Perubahan status ini berpotensi memengaruhi strategi konservasi, tata kelola sumber daya alam, dan masa depan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Hal ini penting terutama ketika menyangkut wilayah pulau-pulau kecil yang memiliki nilai ekologis tinggi meskipun tidak dihuni secara permanen.
Baca juga: Empat pulau Aceh kembali dengan damai
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.