perlu dukungan insentif bagi sponsor olahraga yang etis, seperti pemberian label “Bebas Rokok” untuk event dan klub.
Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu terakhir, sorotan publik tertuju pada Timnas Indonesia yang tampil memukau di kualifikasi Piala Dunia. Meski akhirnya kalah dari Jepang, kemenangan atas China jadi bukti bahwa orang muda Indonesia tampil gesit, percaya diri, dan bermain sebagai satu kesatuan.
Di balik skor, tersirat semangat kolektif bahwa generasi muda Indonesia siap menantang dunia. Kalau dalam mitologi Yunani, mereka mengingatkan kita pada Atalanta, pelari tercepat yang hanya bisa dikalahkan bukan oleh kekuatan, tapi oleh tipu muslihat dan pengalihan fokus.
Seperti Atalanta, pemuda Indonesia memiliki potensi luar biasa, tetapi tetap rentan jika ruang tumbuhnya tak dijaga. Olahraga menjadi arena penting tempat nilai-nilai seperti disiplin, solidaritas, dan integritas ditempa.
Jika dianalogikan, pemuda Indonesia adalah kapal layar modern yang berlayar di samudra luas bernama masa depan. Mereka bergerak digerakkan angin prestasi, diarahkan kompas nilai, dan ditopang layar besar bernama harapan bangsa. Namun, kapal secanggih apa pun bisa karam jika sistem navigasinya terganggu.
Inilah paradoks besar kita hari ini. Dunia olahraga --yang seharusnya jadi ruang bersih dan inspiratif-- perlahan tercemar oleh intervensi industri rokok. Mereka masuk bukan lewat iklan terang-terangan, tapi lewat jalur samar: sponsorship, kolaborasi dengan atlet, hingga tampil dalam event olahraga yang digemari jutaan anak muda. Strategi ini sengaja dirancang untuk membangun citra bahwa rokok adalah simbol gaya hidup keren, aktif, dan sukses.
Namun, citra ini tak lebih dari bungkus rokok --baik konvensional maupun elektrik-- yang luarannya tampak meriah, namun isinya membuat berdarah. Industri rokok sangat memahami bahwa semakin tinggi pendidikan dan kesadaran masyarakat, semakin kecil peluang mereka bertahan.
Baca juga: Bea Cukai bakal membentuk satgas pencegahan rokok ilegal
Maka sebelum kesadaran itu tumbuh, mereka lebih dulu meracuni ruang-ruang esensial seperti olahraga, musik, dan hiburan. Semua demi mendoktrin generasi muda lewat citra palsu.
Pada 2019, sebuah produsen rokok disorot karena dalam audisi beasiswa bulutangkis yang mereka gelar, para peserta mengenakan kaos bertuliskan nama produk rokok mereka. WHO dan KPAI menilai ini sebagai promosi terselubung karena melibatkan anak-anak sebagai media iklan.
Kasus serupa terjadi pada Piala Pertiwi U-14/U-16, April 2025. Perusahaan yang sama muncul sebagai sponsor utama, memicu kritik publik karena melanggar PP No. 28 Tahun 2024 yang melarang promosi rokok melalui aktivitas yang menyasar anak.
Masalah ini bukan soal etika semata, tetapi menyangkut nyawa dan masa depan. Rokok menyebabkan 225.700 kematian dini di Indonesia pada 2019 dan menghilangkan lebih dari 6 juta tahun produktif (DALYs). BPJS Kesehatan menanggung beban Rp27,7 triliun per tahun akibat penyakit terkait rokok, belum termasuk kerugian produktivitas secara nasional.
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa 56,5 persen dari 70 juta perokok di Indonesia mulai merokok pada usia 15-19 tahun. Studi Zanfina (2020) mencatat total kerugian produktivitas akibat merokok mencapai Rp2.755 triliun, setara hampir satu tahun APBN. Di tingkat keluarga, rokok menggerus pengeluaran untuk gizi dan kesehatan, berkontribusi pada stunting dan ketimpangan sosial.
Baca juga: Ranperda KTR bisa jadi awal yang baik untuk ciptakan lingkungan sehat
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.