Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nezar Patria mengatakan bahwa Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) perlu mendefinisikan kembali makna siaran atau broadcast.
“Tentu saja ada banyak catatan penting yang harus kita tatap ulang, termasuk mendefinisikan kembali yang sangat mendasar: apa itu yang kita sebut sebagai broadcast? Penyiaran itu apa sebetulnya sekarang?” kata Nezar dalam diskusi yang digelar Forum Pemred di ANTARA Heritage Center, Jakarta, Kamis.
Di tengah perkembangan teknologi yang kian pesat, semua orang bisa melakukan penyiaran, baik melalui terestrial maupun aliran langsung (streaming). Nezar lantas mempertanyakan apakah streaming termasuk ke dalam penyiaran (broadcasting).
“Jadi, broadcast ini apa sekarang? Apakah yang terjadi broadcast atau narrowcast (penyiaran sempit)? Ini juga suatu diskusi,” katanya.
Menurut Nezar, RUU Penyiaran sepatutnya merumuskan hal yang sangat fundamental seperti pemaknaan penyiaran itu sendiri. Ia menyebut perlu diskusi dengan berbagai elemen untuk merumuskan makna istilah tersebut.
“Ini penting. Kalau kita merumuskan dengan cara yang tradisional, berarti kita mengabaikan perkembangan yang terbaru. Ada kegiatan broadcasting di luar yang kita kenal, lalu regulasinya bagaimana yang di sebelah situ? Ini menjadi pertanyaan,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi I DPR RI Nurul Arifin menyebut pokok utama dalam RUU Penyiaran yang tengah digodok parlemen ialah pengaturan terkait platform digital, yakni media over-the-top (OTT) atau penyedia layanan siaran konten daring.
Menurut dia, DPR menginginkan adanya asas keadilan antara lembaga penyiaran konvensional dan entitas OTT. Namun di sisi lain, legislator belum sampai pada kesepakatan bulat apakah pengaturan OTT akan digabung ke RUU Penyiaran atau dibuatkan undang-undang tersendiri.
Secara pribadi, Nurul menyebut regulasi terkait OTT sebaiknya dipisahkan dari UU Penyiaran terbaru apabila pembahasan dengan pihak platform digital mandek. Sebab, RUU Penyiaran sudah terlampau lama bergulir di DPR, sementara teknologi berkembang dengan sangat pesat.
Lebih lanjut Nurul menyebut DPR bakal segera memanggil perwakilan platform digital untuk membahas hal itu. “Kami akan sesegera mungkin mengundang platform digital yang besar, seperti YouTube, Netflix, dan TikTok supaya kita menemukan suatu kesepakatan,” katanya.
Selain OTT, persoalan lainnya yang belum rampung dirumuskan oleh DPR, yaitu digitalisasi radio, ihwal penambahan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia, pengaturan penyiaran multiplatform, hingga penjatuhan pidana dalam RUU Penyiaran.
Kendati demikian, Nurul selaku anggota komisi yang membidangi urusan komunikasi dan informatika mengaku berkomitmen mendorong percepatan penyusunan RUU Penyiaran, terlebih melihat kondisi lembaga penyiaran konvensional Indonesia di tengah disrupsi teknologi.
“Kalau bisa lebih cepat, lebih baik. Sedih juga melihat situasi [stasiun] televisi nasional pada saat ini bagaimana ceruk dari iklannya itu banyak diambil oleh platform lain,” kata Nurul.
Baca juga: DPR segera panggil platform digital terkait revisi UU Penyiaran
Baca juga: Soal RUU Penyiaran, Nezar: Pemerintah komit jaga keberlanjutan media
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.