Jakarta (ANTARA) - Saksi a de charge alias saksi meringankan kasus dugaan perintangan penyidikan dan suap, Cecep Hidayat, menyebutkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto pernah dua kali menolak tawaran menjadi menteri.
Dalam sidang pemeriksaan saksi a de charge di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat, dia mengungkapkan bahwa tawaran yang diberikan pada masa pemerintahan presiden ke-7 RI Joko Widodo tersebut ditolak lantaran Hasto lebih memilih untuk mengurus PDI Perjuangan.
"Tawaran diberikan karena kemenangan PDI Perjuangan dan terpilihnya presiden ketujuh itu tidak terlepas dari kontribusi seorang sekjen partai besar seperti Pak Hasto ini," ungkap Cecep, yang merupakan teman kuliah Hasto tersebut.
Cecep menyebutkan tawaran yang diberikan kepada Hasto dilakukan pada tahun 2014 untuk menjadi Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) dan pada tahun 2019 untuk menjadi Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo).
Namun, dari dua tawaran tersebut, kata dia, Hasto menolaknya dan lebih memilih untuk mengurus PDI Perjuangan.
Dengan demikian, Cecep menilai bahwa menjadi pengurus partai sama terhormatnya dengan menjadi pejabat negara seperti menteri, kepala daerah, dan wakil kepala daerah.
Selain sama terhormatnya dengan menjadi pejabat negara, dia berpendapat bahwa Hasto memandang untuk menjadi pejabat negara diperlukan partai dan kelembagaan yang baik.
"Jadi dua variabel ini yang kemudian saya kira jadi alasan Pak Hasto tidak berkenan menjadi menteri dan lebih memilih bekerja untuk membesarkan partai," tuturnya.
Cecep bersaksi pada sidang kasus dugaan perintangan penyidikan perkara korupsi dan suap yang menyeret Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa.
Baca juga: Hasto susun nota pembelaan untuk sidang kasus perintangan pakai AI
Baca juga: Mantan hakim Maruarar Siahaan jadi ahli meringankan pada sidang Hasto
Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka dalam rentang waktu 2019–2024.
Sekjen DPP PDI Perjuangan itu diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017—2022 Wahyu Setiawan.
Tidak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu dalam rentang waktu 2019—2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pengganti antarwaktu (PAW) calon anggota legislatif terpilih dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.