Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (Akvindo) menilai penyamaan rokok elektrik dengan rokok bakar dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan kebijakan tidak tepat dan keliru.
"Menyamakan rokok elektrik dengan rokok dalam regulasi ini kurang tepat. Rokok elektrik adalah produk tembakau alternatif yang menghasilkan uap, bukan asap," kata Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (Akvindo) Paido Siahaan melalui keterangan di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang telah diajukan ke DPRD Jakarta, rokok elektrik mendapatkan perlakuan yang setara dengan rokok karena diatur dalam pasal yang sama dalam Raperda KTR Jakarta tersebut.
Pengaturan serta penyamaan definisi tersebut kata Paido, tidak sesuai dengan profil rokok elektrik yang secara kajian ilmiah telah terbukti rendah risiko.
Untuk itu, penyamaan rokok elektrik dengan rokok bakar merupakan kebijakan yang tidak tepat dan keliru.
Baca juga: PHRI keberatan dengan Raperda Kawasan Tanpa Rokok
Rokok elektrik memiliki karakteristik dan profil risiko yang berbeda dari rokok yang dibakar sehingga tidak bisa diperlakukan setara.
"Rokok elektrik tidak menghasilkan zat-zat berbahaya seperti tar dan karbon monoksida yang terkandung dalam asap rokok yang dibakar," ujarnya.
Dia menjelaskan, berbagai penelitian ilmiah mendukung adanya perbedaan profil risiko antara rokok bakar dengan rokok elektrik.
Salah satunya adalah laporan dari Public Health England (PHE), yang kini dikenal sebagai UK Health Security Agency, berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Products” pada 2018.
Hasilnya, rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan mampu mengurangi paparan risiko hingga 90-95 persen lebih rendah daripada rokok yang dibakar.
Baca juga: Tempat hiburan malam termasuk tempat umum kawasan tanpa asap rokok
Temuan itu menunjukkan rokok elektrik dapat menjadi alternatif bagi perokok dewasa yang ingin mengurangi dampak buruk konsumsi rokok.
"Memperlakukan keduanya secara setara dalam regulasi ini berpotensi mengabaikan perbedaan mendasar dalam profil risiko kedua produk tersebut, yang dapat membingungkan masyarakat dan menghambat upaya perokok untuk beralih ke alternatif yang lebih rendah risiko," katanya.
Tidak hanya itu, menyamaratakan rokok elektrik dengan rokok bakar dalam Raperda KTR juga berpotensi membatasi hak konsumen untuk mengakses dan menggunakannya.
Padahal, akses terhadap produk rendah risiko merupakan bagian dari hak konsumen dewasa untuk mendapatkan pilihan yang lebih baik.
“Vape telah menjadi alat bantu yang efektif bagi jutaan perokok di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, untuk mengurangi atau menghentikan kebiasaan merokok tembakau,” katanya.
Baca juga: DKI masukan raperda kawasan tanpa rokok di RPJMD 2025-2029
Pasal 1 Ayat 6 Raperda KTR disebut rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya termasuk shisha, rokok elektronik, vape, produk tembakau yang dipanaskan, diuapkan, dan/atau bentuk lainnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
Dengan penyetaraan tersebut, penggunaan rokok elektrik pun turut dibatasi di tempat umum.
Mengacu Pasal 14, beberapa tempat umum antara lain hotel, restoran, hingga tempat hiburan.
Untuk penggunaannya, konsumen rokok elektrik hanya bisa melakukannya di ruang terbuka, terpisah dari bangunan utama, jauh dari lalu lalang orang dan pintu keluar masuk.
Terkait dengan pelarangan penggunaan rokok elektrik di tempat hiburan, Paido menyampaikan keberatannya.
Baca juga: Kandungan cairan vape sama bahayanya dengan rokok konvensional
Ia menilai bahwa larangan penggunaan vape di tempat hiburan malam, kafe dan sejumlah tempat lainnya, merupakan pendekatan yang terlalu restriktif.
Kebijakan semacam ini menurutnya dapat membatasi hak konsumen rokok elektrik yang menggunakan produk ini.
“Kami menyarankan agar Pemprov DKI mempertimbangkan regulasi yang membedakan vape dari rokok tembakau, misalnya dengan memperbolehkan penggunaan vape di area tertentu yang berventilasi baik tanpa harus dibatasi pada ruang khusus merokok," ujarnya.
Paido juga menyampaikan harapannya agar pemerintah dapat membuka ruang dialog yang inklusif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk asosiasi dan komunitas pengguna rokok elektrik.
Sementara itu, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DPRD DKI Jakarta Farah Savira mengatakan bahwa Pansus KTR ditargetkan selesai pada Agustus 2025.
Baca juga: Bahaya liquid vape: Kandungan beracun ancam kesehatan paru dan jantung
Menurut dia, saat ini sudah banyak masukan dan saran-saran dari berbagai asosiasi, baik yang pro terhadap kawasan tanpa rokok maupun yang kontra.
"Kita juga harus mempertimbangkan sekarang kondisi ekonomi yang ada, betapa banyaknya masyarakat kita yang sangat bergantung terhadap penjualan rokok itu sendiri," katanya.
Pewarta: Khaerul Izan
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.