Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga agen pengurusan izin kerja atau rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) yang diperas bukan hanya terjadi di Jakarta, melainkan pada kota lain di Indonesia.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyampaikan pernyataan itu untuk menjawab pertanyaan jurnalis usai penyidik KPK memeriksa sejumlah agen TKA di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, selama 19-20 Juni 2025.
“Pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik dalam perkara ini tentu akan melihat dan memanggil pihak-pihak yang diduga mengetahui konstruksi dari perkara rencana penggunaan TKA ini, yakni diduga adanya pemerasan yang dilakukan oleh para oknum di Kementerian Ketenagakerjaan,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa KPK dalam rangkaian pemeriksaan saksi tersebut meminta keterangan saksi terkait besaran dana hingga modus-modus pemerasan yang dialami.
Sebelumnya, KPK pada Kamis (19/6) memeriksa dua orang agen TKA di Surabaya, yakni staf administrasi berkas di PT Maju Papan Melayani berinisial AH, dan seorang wiraswasta berinisial JKG.
Sementara pada Jumat (20/6), KPK memanggil lima orang saksi yang empat di antaranya merupakan pegawai di PT Maju Mapan Melayani berinisial KW, VS, FM, dan MIM, serta pegawai di PT Emerald Visa Konsultan berinisial DUP.
Baca juga: KPK telah panggil saksi untuk penyelidikan korupsi kuota haji khusus
KPK pada 5 Juni 2025 mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA.
KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.
Bila RPTKA tidak diterbitkan oleh Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan begitu, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.
Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.
Baca juga: KPK segera umumkan identitas 21 tersangka kasus dana hibah Jatim
Baca juga: KPK usut dugaan gratifikasi di MPR RI
Pewarta: Rio Feisal
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.