Di balik kemajuan yang dikejar, ada nilai-nilai yang harus dijaga, warisan yang harus dihidupkan, dan sejarah yang harus terus dirawat.

Jakarta (ANTARA) - Ketika modernitas dan teknologi digital mendominasi ruang kehidupan, tak sedikit yang menganggap bahwa kebudayaan tradisional kian tergeser, seakan hanya menjadi memorabilia masa silam yang sebentar lagi usang.

Namun, apa yang terjadi di Pura Pakualaman Yogyakarta pada 22 Juni 2025 membantah anggapan itu secara terang dan penuh keyakinan.

Perayaan Hadeging atau Hari Jadi ke-213 Kadipaten Pakualaman bukan hanya menjadi peristiwa seremoni rutin, melainkan menandai sebuah pernyataan yang kokoh bahwa kebudayaan adiluhung tak akan pernah lekang oleh waktu jika dijaga dengan cinta, konsistensi, dan kebermaknaan yang kontekstual.

Di tengah derasnya arus globalisasi yang membawa banyak tantangan identitas, Hadeging Pakualaman menjadi penanda penting bahwa akar budaya lokal tetap memiliki daya hidup.

Perayaan ini bukan sekadar mengenang sejarah berdirinya sebuah kadipaten, melainkan merupakan bentuk konkret pemajuan kebudayaan seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Dalam bingkai undang-undang ini, budaya tidak diposisikan sebagai ornamen, melainkan sebagai pilar pembangunan nasional yang menyentuh dimensi identitas, kebangsaan, dan keberlanjutan peradaban.

Rangkaian kegiatan yang diselenggarakan sejak April hingga Juni 2025 menunjukkan betapa Pakualaman secara serius menempatkan kebudayaan sebagai denyut nadi kehidupan masyarakat.

Tidak berhenti pada seremoni elitis, kegiatan-kegiatan seperti sayembara Mocopat Pakualam Cup, lomba mewarnai batik Pakualam, lomba Aksara Jawa, hingga Festival Karawitan merupakan bentuk nyata pelibatan generasi muda dalam proses pelestarian budaya.

Di sinilah esensinya, bahwa pelestarian budaya tidak bisa dilakukan hanya dengan mengenangnya, tetapi dengan menjadikannya hidup, relevan, dan dicintai oleh generasi masa kini.

Lebih dari itu, kegiatan seperti ziarah ke makam leluhur di Kotagede, Imogiri, dan Giri Gondo bukan sekadar ritual spiritual. Namun juga merupakan bentuk penghormatan terhadap sejarah dan narasi identitas yang telah membentuk karakter budaya Pakualaman selama lebih dari dua abad.

Dalam budaya Jawa, ziarah bukan hanya untuk mengenang, tapi juga untuk menyambung makna dan kesinambungan nilai-nilai.

Bahkan kegiatan Mlampah Guyub atau jalan pagi bersama keluarga dan trah Pakualam menjadi bentuk pelestarian yang lembut namun kuat dalam membangun ruang kebersamaan yang merawat ingatan dan solidaritas kultural.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.