Swasembada gula bukan semata urusan pertanian, tetapi merupakan agenda strategis lintas sektor yang membutuhkan komitmen kolektif.

Jakarta (ANTARA) - Pada 1930-an, Nusantara pernah mencatat kejayaan sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba berkat industri gula kolonial yang menjadikan Pulau Jawa dijuluki “raja gula”. Kala itu, produksi gula mencapai 3 juta ton dengan produktivitas hingga 14 ton gula per hektare.

Namun, kejayaan tersebut belum mampu diwarisi secara berkelanjutan. Hingga 2024, industri gula nasional masih bergulat dengan dua masalah klasik, yaitu rendahnya produktivitas dan tingginya ketergantungan impor. Produksi dalam negeri hanya sekitar 2,46 juta ton, sementara kebutuhan mencapai 8,1 juta ton. Meski terjadi kenaikan produksi sebesar 8,6% dibandingkan 2023, lonjakan ini masih belum mampu mengimbangi pertumbuhan konsumsi nasional yang terus meningkat.

Akar persoalan berada pada level on-farm, yakni rendahnya produktivitas di tingkat petani. Rata-rata produksi gula per hektare hanya sekitar 4–5 ton, jauh di bawah potensi optimal. Hal ini disebabkan oleh penggunaan varietas tebu yang sudah usang, teknik budidaya yang belum efisien, serta penurunan kualitas tanah akibat penggunaan pupuk kimia yang tidak berimbang.

Sekitar 86% lahan tebu rakyat juga telah memasuki masa ratun ketiga atau lebih, yang secara alami mengalami penurunan produktivitas signifikan. Untuk itu, peningkatan produktivitas pertanian menjadi kebutuhan mendesak, yang bisa dilakukan melalui peremajaan varietas, penerapan pertanian presisi, dan pembenahan praktik budidaya.

Selain persoalan di kebun, tantangan besar juga datang dari sisi off-farm. Dari 62 pabrik gula aktif di Indonesia, sekitar 65% sudah berusia lebih dari 100 tahun. Mesin-mesin tua menyebabkan rendahnya rendemen, yakni hanya sekitar 5–6% di pabrik tua di Jawa Timur, jauh di bawah pabrik modern seperti di Thailand dan Brasil yang bisa mencapai 11–12%. Akibatnya, banyak pabrik beroperasi tidak optimal, dengan musim giling singkat sekitar 150 hari per tahun.

Struktur industri gula juga masih didominasi oleh petani kecil yang memasok lebih dari separuh produksi nasional. Ke depan, restrukturisasi diperlukan melalui skema kemitraan seperti model inti-plasma atau cluster farming. Model ini memungkinkan peningkatan kontribusi dari perkebunan besar menjadi 60%, sambil tetap memberdayakan petani kecil dengan dukungan teknologi, pembiayaan, dan akses pasar.

Baca juga: Wapres minta Kementan selesaikan "PR" untuk swasembada gula 2027

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.