Tanpa insentif yang menarik, dukungan modal usaha, akses terhadap lahan, serta pelatihan teknologi yang adaptif, Indonesia terancam kekurangan petani dalam satu dekade mendatang.

Jakarta (ANTARA) - Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), tiga lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja paling banyak di Indonesia adalah Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (28,54 persen); Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor (19,26 persen); serta Industri Pengolahan (13,45 persen).

Ini artinya, hampir satu dari tiga pekerja Indonesia saat ini menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dan sejenisnya.

Sayangnya, kontribusi besar sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja belum sepenuhnya berbanding lurus dengan kesejahteraan para pekerjanya. Justru sektor ini menyimpan ironi yang menantang. Rata-rata upah buruh di sektor pertanian pada Februari 2025 hanya Rp2,25 juta, menjadi terendah kedua di antara seluruh lapangan usaha, dan berada jauh di bawah rata-rata upah buruh nasional yang tercatat sebesar Rp3,09 juta.

Situasi ini semakin kompleks ketika melihat struktur ketenagakerjaan di sektor pertanian yang masih didominasi oleh pekerjaan informal, buruh tidak tetap, dan pekerja keluarga tanpa upah. Data BPS menunjukkan bahwa mayoritas tenaga kerja di sektor pertanian masuk dalam kategori informal. Mereka rentan terhadap guncangan, tidak memiliki perlindungan sosial, dan sangat bergantung pada faktor eksternal seperti cuaca dan harga pupuk.

Lebih jauh, sektor yang menjadi tumpuan hidup jutaan keluarga ini pun menghadapi tantangan serius dari sisi produktivitas dan ketahanan pangan. Berdasarkan hasil Kerangka Sampel Area (KSA) April 2025, luas panen padi nasional hanya mencapai 1,65 juta hektare, turun 3,22 persen dibandingkan April 2024.
Baca juga: Dispertan Garut turunkan tim Gertak cegah serangan hama tikus di sawah

Produksi gabah kering giling (GKG) pada bulan yang sama juga turun sebesar 2,68 persen, dari 9,34 juta ton menjadi 9,09 juta ton. Jika dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi penduduk, penurunannya setara dengan 140 ribu ton, angka yang tidak kecil jika dikaitkan dengan tekanan permintaan pangan.

Padahal, padi bukan sekadar komoditas pertanian biasa. Ia adalah tumpuan ketahanan pangan nasional. Penurunan produksi beras bisa memicu efek domino, mulai dari fluktuasi harga di pasar konsumen, krisis pasokan lokal, hingga melemahnya daya beli petani.

Bagi petani gurem yang tidak memiliki cadangan modal atau akses subsidi, kondisi ini bisa sangat memukul. Mereka menanggung risiko produksi sekaligus menghadapi pasar yang tidak ramah.

Masalah spasial juga tak kalah penting. Tiga provinsi dengan produksi padi tertinggi, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat masih menjadi tulang punggung produksi nasional. Sebaliknya, wilayah Indonesia Timur mencatat produksi yang jauh lebih rendah. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa pembangunan pertanian belum sepenuhnya merata.

Meski demikian, terdapat secercah harapan. Secara kumulatif, produksi padi dari Januari hingga Juli 2025 diperkirakan meningkat 14,92 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Angka ini dipengaruhi panen besar di bulan Maret. Namun, peningkatan ini tidak serta-merta menjamin kesejahteraan petani. Jika harga gabah anjlok atau biaya produksi meningkat, keuntungan petani justru bisa menyusut.
Baca juga: Wamentan lakukan percepatan mekanisasi pertanian di Ketapang

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.