Perempuan harus belajar memandang laki-laki bukan semata-mata sebagai pelindung atau tumpuan, tetapi sebagai mitra yang setara dan manusia yang juga bisa rapuh, butuh dukungan, dan belum tentu lebih mapan
Jakarta (ANTARA) - Pemberdayaan perempuan dalam beberapa dekade terakhir telah membuka ruang besar bagi kaum perempuan untuk berkembang, baik dalam pendidikan, karir, hingga pengambilan keputusan dalam ruang publik.
Perempuan kini tidak lagi semata-mata diposisikan sebagai pihak yang hanya mengikuti, tetapi mereka hadir sebagai aktor yang aktif dan berdaya dalam masyarakat.
Di sisi yang lain hal ini juga menimbulkan ketidaknyamanan dan kekhawatiran bagi banyak laki-laki yang merasa terancam ketika posisi mereka tidak lagi menjadi satu-satunya tumpuan dalam keluarga akibat dari banyak perempuan yang bekerja dan memperoleh penghasilan yang sama, bahkan lebih.
Ketakutan kehilangan status atau peran utama dapat memunculkan sikap defensif yang berujung pada penolakan terhadap kesetaraan yang sebenarnya menguntungkan kedua belah pihak.
Selama ini kesetaraan gender hanya dianggap sebagai perjuangan perempuan. Akibatnya laki-laki kurang punya tempat dalam narasi kesetaraan karena dianggap sebagai kelompok yang dominan. Padahal, pemberdayaan perempuan harus disertai pembebasan laki-laki dari ekspektasi tradisional.
Bukan hanya perempuan yang dibatasi budaya, laki-laki pun dibentuk oleh beban peran yang sempit. Kebebasan yang tidak dibarengi perubahan nilai, hanya menciptakan bentuk baru dari dominasi, dan itulah yang membuat banyak laki-laki saat ini merasa kehilangan ruang, harga diri, bahkan peran yang selama ini diisi oleh mereka.
Gerakan pemberdayaan perempuan sejak awal ditujukan untuk membebaskan perempuan dari ketimpangan struktural dan subordinasi budaya yang dianggap lebih banyak merugikan perempuan.
Namun, dalam praktiknya, yang paling cepat dan kuat terdampak oleh pemberdayaan adalah kelompok perempuan menengah ke atas yaitu mereka yang punya akses terhadap pendidikan, jaringan, dan sumber daya. Akibatnya, kita melihat munculnya kelas perempuan baru yang berdaya secara ekonomi dan sosial, tapi secara tidak sadar justru menarik garis batas terhadap perempuan lain yang belum sampai di titik yang sama, atau bahkan terhadap laki-laki yang dianggap belum “setara”.
Baca juga: Ketua DPR: Pelibatan perempuan dalam pembangunan lebih dari afirmatif
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.