Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Hukum Laut Internasional Universitas Indonesia (UI) Arie Afriansyah menyayangkan bahwa kode etik (Code of Conduct/CoC) di Laut China Selatan masih belum disepakati hingga sekarang.

Dalam diskusi publik “Southeast Asia Unfinished Maritime Agenda” di Jakarta pada Selasa, dia menilai bahwa hambatan dari perjanjian tersebut adalah ruang lingkup penerapannya.

“Area mana yang akan disepakati untuk menerapkan kode etik ini? Ketika kita berbicara tentang Laut China Selatan, area mana? Apakah termasuk ZEE masing-masing negara? Atau termasuk negara teritorial?” kata Arie.

Selama masih belum ditentukan ruang lingkup penerapan dari CoC, kata dia, CoC akan sulit untuk disepakati.

Pada kesempatan yang sama, Laksamana Muda TNI (Purn) Surya Wiranto berpendapat bahwa tidak ada momentum politik dan rasa saling percaya yang cukup untuk mendorong proses negosiasi CoC.

“Integrasi perilaku para pihak yang tidak mengikat saat ini belum sepenuhnya dilaksanakan, dan masih ada keraguan tentang apakah CoC di masa mendatang akan dihormati dan ditegakkan,” kata Surya, yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS).

Klaim tumpang tindih dan klaim kedaulatan yang saling bertentangan di Laut China Selatan menambah kesulitan untuk menyepakati penerapan dan penegakan CoC terutama bagi negara-negara anggota ASEAN yang berkonflik di Laut China Selatan, kata Surya.

Pada April lalu, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan China “berkomitmen secara politik” untuk menyelesaikan CoC di Laut China Selatan pada 2026, menurut Menteri Luar Negeri Filipina Enrique Manalo.

Manalo mengatakan bahwa “semua orang telah sepakat” bahwa mereka “ingin memiliki kode tersebut pada 2026.”

“Kami semua berkomitmen secara politik untuk mencapainya, memiliki kode tersebut pada tahun depan. Namun, kita lihat saja nanti. Kami akan berusaha sebaik mungkin,” kata dia.

Kode etik tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman untuk mengatur tindakan negara-negara di Laut China Selatan yang selama ini bersengketa.

Negara-negara yang terlibat dalam sengketa di Laut China Selatan adalah China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sengketa tersebut melibatkan klaim atas wilayah perairan dan pulau-pulau, terutama di gugusan Kepulauan Spratly dan Paracel.

Sedangkan Indonesia selalu memosisikan diri sebagai negara bukan pengeklaim (non-claimant state) dalam konflik Laut China Selatan sejak 1990.

Baca juga: Pakar: Isu kemaritiman terpenting RI adalah kesepakatan dengan China
Baca juga: Prabowo ungkap strateginya kelola ketegangan di Laut China Selatan

Pewarta: Cindy Frishanti Octavia
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.