Jakarta (ANTARA) - Sejarah, dalam narasi yang paling umum, seringkali disajikan sebagai garis lurus yang rapi, sebuah rangkaian peristiwa yang terpilah-pilah dengan jelas antara pahlawan dan pengkhianat, kebenaran dan kesalahan.

Namun, seperti yang sering kita lihat dalam berbagai perdebatan publik, narasi tunggal ini semakin sering dipertanyakan, ditantang, bahkan ditulis ulang. Fenomena penulisan ulang sejarah resmi Indonesia—mulai dari peran tokoh tertentu hingga interpretasi peristiwa-peristiwa krusial—adalah cerminan nyata dari apa yang oleh sosiolog terkemuka Zygmunt Bauman disebut sebagai ambivalensi.

Bauman, sosiolog Polandia dalam bukunya Modernity and Ambivalence, memahami ambivalensi bukan sekadar sebagai ketidakpastian atau keragu-raguan, melainkan sebagai "kemungkinan untuk menyebut suatu benda atau kejadian dengan lebih dari satu kategori".

Dalam konteks modernitas, Bauman berpendapat bahwa ada upaya gigih untuk menghilangkan ambivalensi. Proyek modernitas, dengan obsesinya pada keteraturan dan klasifikasi, berusaha keras untuk menciptakan dunia yang rapi, di mana setiap fenomena memiliki tempatnya sendiri dan setiap individu masuk dalam kategori yang jelas. Bauman menggunakan Holocaust sebagai contoh ekstrem dari upaya menghilangkan ambivalensi.

Namun, ironisnya, upaya untuk mengkategorikan dan menciptakan keteraturan ini justru seringkali menghasilkan "produk sampingan": ambivalensi itu sendiri. Apa yang tidak muat dalam kotak yang ditentukan, apa yang tidak sesuai dengan narasi yang disepakati, menjadi ambivalen—sesuatu yang mengancam tatanan.

Dalam konteks sejarah resmi Indonesia, kita dapat melihat upaya modernitas untuk menciptakan narasi yang tunggal dan "bersih." Sejarah dirancang untuk menanamkan identitas nasional yang kohesif, menjustifikasi kekuasaan, dan membangun konsensus.

Mengabaikan sisi “tidak nyaman”

Peristiwa-peristiwa masa lalu dipilah dan dikategorikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan alur cerita yang logis dan heroik, seringkali mengabaikan atau bahkan menekan sisi-sisi yang rumit, kontradiktif, atau "tidak nyaman."

Pihak-pihak yang tidak sesuai dengan narasi resmi seringkali diasingkan, dicap sebagai "lain," atau bahkan dihapus dari catatan. Inilah upaya pemberantasan ambivalensi dalam proyek sejarah modern.

Contoh konkret dari upaya pemberantasan ambivalensi dalam sejarah resmi Indonesia adalah narasi Orde Baru tentang peristiwa 1965-1966. Selama puluhan tahun, peristiwa ini secara resmi dipadatkan menjadi narasi tunggal tentang "pengkhianatan G30S/PKI" yang menumpas pahlawan revolusi, dan kebangkitan Orde Baru sebagai penyelamat bangsa.

Dalam narasi ini, Partai Komunis Indonesia (PKI) dikategorikan secara mutlak sebagai musuh negara dan ideologi, tanpa ruang bagi nuansa, kompleksitas motif, atau tragedi kemanusiaan yang lebih luas. Jutaan korban dan dampaknya yang kompleks terhadap masyarakat Indonesia, serta perdebatan mengenai dalang dan aktor-aktor lain, sengaja dikaburkan atau ditekan demi menjaga narasi tunggal yang membenarkan kekuasaan.

Namun, sebagaimana diuraikan Bauman dalam konsep modernitas cairnya (liquid modernity), di era yang semakin pluralistik dan terhubung ini, upaya untuk mempertahankan narasi tunggal menjadi semakin sulit. Informasi menyebar dengan cepat, perspektif baru muncul dari berbagai penjuru, dan otoritas narasi tunggal mulai terkikis.

Kita berharap, penulisan ulang sejarah resmi Indonesia, yang kini banyak digulirkan oleh akademisi, aktivis, atau bahkan kelompok masyarakat sipil, kiranya menerima dan menyambut ambivalensi yang muncul. Sejatinya, narasi yang dulunya dianggap final kini dapat dipertanyakan; tokoh-tokoh yang dulu hanya dilihat dari satu sisi kini dapat ditinjau ulang dari berbagai sudut pandang.

Perdebatan mengenai peran dan status Sukarno pasca-G30S, atau upaya rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran terkait peristiwa 1965 itu sendiri, adalah contoh nyata kembalinya ambivalensi.

Kini, semakin banyak riset dan buku yang mencoba menghadirkan perspektif yang lebih nuansa, seperti karya John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (Roosa, 2008), yang menyajikan analisis mendalam dan menantang narasi resmi.

Demikian pula, upaya untuk mengakui dan mendokumentasikan pelanggaran HAM masa lalu, seperti yang dilakukan oleh Komnas HAM, menunjukkan bahwa ada dorongan kuat untuk menerima kompleksitas dan ambivalensi dari peristiwa tersebut, daripada membiarkannya terkubur dalam satu kategori yang ditentukan.

Begitu juga perdebatan publik tentang kekerasan seksual pada peristiwa Mei 1998. Apakah karena "hitam" dan “tidak nyaman” maka harus dihapus dari Sejarah Resmi Indonesia? Apakah demi imaji positif maka fakta sejarah ini harus dihilangkan? Intinya, peristiwa semacam ini memiliki nilai positif dan negatifnya, yang harus ditulis dan dimaknai untuk tidak terulang lagi di masa depan. Narasi yang sudah sesuai fakta dibuktikan dengan evidence, tetap dipertahankan, bukan dihapus karena alasan ketidaknyamanan.

Berani menerima ambivalensi

Ambivalensi sejarah, dalam konteks ini, berarti kesadaran bahwa peristiwa masa lalu tidak pernah sepenuhnya hitam atau putih. Ada banyak lapisan, interpretasi, dan pengalaman yang mungkin saling bertentangan namun sama-sama valid. Upaya untuk mengakomodasi berbagai perspektif ini adalah bentuk keberanian intelektual, meskipun juga menghadirkan ketidaknyamanan.

Sebab, menerima ambivalensi berarti menerima ketidakpastian, menerima bahwa sejarah mungkin tidak akan pernah menjadi buku teks yang rapi, pasti, dan definitif.

Dengan penerimaan ambivalensi tersebut, maka, penulisan ulang sejarah resmi Indonesia, dari kacamata Bauman, bukanlah sekadar revisi faktual. Ini adalah pengakuan akan kegagalan “proyek modernitas” dalam memberantas ambivalensi sepenuhnya dan penolakan rekayasa sejarah.

Ini adalah momen di mana masyarakat mulai berdamai dengan kenyataan bahwa masa lalu kita—dan identitas kita—adalah kompleks, berlapis, dan mengandung banyak kemungkinan interpretasi.

Tantangannya adalah bagaimana kita, sebagai bangsa, dapat belajar hidup berdamai dengan ambivalensi ini tanpa terjebak dalam kekacauan, melainkan justru menggunakannya sebagai fondasi untuk pemahaman yang lebih kaya dan inklusif tentang siapa kita di masa kini dan bagaimana kita ingin melangkah ke masa depan.

*) Penulis adalah alumnus Magister Ilmu Filsafat STF Diryarkara Jakarta, penulis buku Pemikiran Zygmunt Bauman (Kanisius, 2024).

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.