Jakarta (ANTARA) - Tahun Baru Islam yang diperingati setiap 1 Muharram dalam kalender Hijriah bukan hanya sekadar seremoni keagamaan. Namun lebih dari itu, perayaannya merupakan titik refleksi dan transformasi spiritual yang dapat menjangkau seluruh aspek kehidupan umat Islam, termasuk aspek sosial dan ekonomi.

Dalam konteks bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, momen Tahun Baru Islam dapat menjadi pijakan untuk memperkuat sistem ekonomi ekonomi syariah yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga keadilan, keberkahan, dan keseimbangan.

Di tengah ketidakpastian global yang dipicu oleh konflik geopolitik di Timur Tengah serta perang dagang antara Amerika Serikat dan China, ekonomi syariah menunjukkan keunggulan dalam hal stabilitas dan keberlanjutan. Dua tahun terakhir menjadi bukti bahwa sektor ekonomi berbasis nilai-nilai Islam mampu bertahan, bahkan tumbuh, dalam menghadapi guncangan ekonomi dunia.

Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia memiliki potensi luar biasa dalam pengembangan ekonomi syariah.

Berdasarkan laporan State of the Global Islamic Economy Report 2023, Indonesia menempati peringkat ke-3 dalam perkembangan ekonomi Islam secara keseluruhan, khususnya pada sektor makanan halal, fesyen muslim, dan keuangan syariah. Hal ini mencerminkan keseriusan pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan sektor ekonomi berbasis syariah.

Bank Indonesia mencatat bahwa aset keuangan syariah Indonesia pada akhir 2024 mencapai Rp2.500 triliun, meningkat dari Rp2.191 triliun pada 2023. Kontribusi ekonomi syariah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga terus meningkat, dari 6,4 persen pada 2022 menjadi sekitar 7,3 persen di tahun 2024.

Angka ini menjadi sinyal positif bahwa ekonomi syariah tidak lagi bersifat simbolik, melainkan menjadi kekuatan riil yang ikut menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Pertumbuhan ekonomi berbasis syariah

Di tengah perlambatan ekonomi global dan gejolak pasar keuangan, sektor ekonomi syariah di Indonesia justru mencatatkan kinerja stabil dan cenderung meningkat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan syariah tumbuh sebesar 10,2 persen (yoy) pada 2024, jauh melampaui pertumbuhan DPK perbankan konvensional yang hanya sebesar 6,8 persen.

Dari sisi pembiayaan, bank syariah mencatatkan pertumbuhan pembiayaan sebesar 13,1 persen pada 2024. Tingkat Non-Performing Financing (NPF) tetap terjaga di bawah 3 persen, yang menunjukkan kualitas pembiayaan syariah yang relatif sehat dan minim risiko gagal bayar.

Selain itu, Lembaga Keuangan Sosial Islam seperti BAZNAS dan Dompet Dhuafa berhasil menghimpun dana zakat nasional sebesar Rp29 triliun pada 2024, meningkat dari Rp25 triliun pada tahun sebelumnya.

Kinerja stabil ini bukan hanya menunjukkan ketangguhan sektor keuangan syariah, tetapi juga menggambarkan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan yang berlandaskan nilai-nilai keadilan dan keberkahan. Wakaf produktif, misalnya, kini mulai dikembangkan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan pertanian dengan model bisnis berkelanjutan.

Pertumbuhan sektor ekonomi syariah tidak hanya berkontribusi terhadap stabilitas sistem keuangan nasional, tetapi juga memberikan implikasi nyata terhadap pembangunan sosial-ekonomi masyarakat, terutama kelompok rentan dan menengah ke bawah.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, ekonomi syariah telah terbukti mampu memperluas akses keuangan inklusif tanpa membebani masyarakat dengan bunga yang tinggi sebagaimana pada sistem konvensional.

Salah satu contohnya adalah melalui pembiayaan mikro syariah seperti Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dan Koperasi Syariah, yang mampu menjangkau pelaku UMKM di pedesaan maupun kota kecil.

Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa lebih dari 5.000 BMT aktif di seluruh Indonesia, menjangkau ratusan ribu anggota, dengan pembiayaan rata-rata di bawah Rp10 juta per usaha. Model ini sangat cocok bagi usaha skala kecil karena tidak menuntut agunan tinggi dan dapat disesuaikan dengan prinsip bagi hasil yang adil.

Lebih jauh lagi, penggunaan zakat produktif untuk pemberdayaan petani, nelayan, dan pedagang kecil terbukti memberikan efek berganda. Menurut laporan BAZNAS (2023), program zakat produktif mereka berhasil meningkatkan pendapatan mustahik rata-rata sebesar 34 persen dalam satu tahun. Hal ini berarti zakat tidak hanya menjadi alat distribusi kekayaan, tetapi juga instrumen pembangunan ekonomi akar rumput yang sangat efektif.

Program-program berbasis ekonomi syariah juga berkontribusi pada pengurangan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sebagai contoh, Program Z-Mart yang digagas oleh Dompet Dhuafa berhasil memberdayakan lebih dari 2.000 warung kecil di berbagai wilayah dengan memberikan akses permodalan, pelatihan manajemen usaha, dan jaringan distribusi. Hasilnya, omset para pelaku usaha meningkat dan lapangan kerja lokal tercipta.

Sementara itu, dari aspek pembangunan nasional, ekonomi syariah semakin diakui sebagai bagian dari strategi ketahanan ekonomi nasional. Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019–2024, yang dicanangkan oleh Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), menempatkan sektor ini sebagai pilar utama dalam menggerakkan ekonomi berbasis kerakyatan dan berkelanjutan, khususnya dalam industri halal, keuangan sosial Islam, dan pembiayaan UMKM.

Peran dalam menghadapi krisis

Dunia saat ini tengah menghadapi turbulensi ekonomi yang disebabkan oleh dua faktor utama: pertama, eskalasi konflik geopolitik di Timur Tengah, terutama antara Iran dan Israel; dan kedua, memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang berdampak pada rantai pasok global.

Konflik di Timur Tengah berdampak langsung pada harga minyak global dan stabilitas kawasan. Indonesia sebagai negara pengimpor minyak turut terdampak dalam bentuk kenaikan biaya logistik dan tekanan inflasi.

Sementara itu, perang dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia membuat pasar ekspor Indonesia semakin tidak pasti. Produk unggulan seperti karet, sawit, dan tekstil menghadapi hambatan tarif dan fluktuasi permintaan.

Dalam konteks ini, ekonomi syariah yang mengedepankan keuangan berbasis aset riil dan prinsip kehati-hatian dapat menjadi solusi alternatif. Pembiayaan syariah yang menghindari unsur spekulatif (gharar) dan riba memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap guncangan pasar dibanding sistem keuangan konvensional.

Ekonomi syariah bukan sekadar sistem ekonomi alternatif, melainkan bagian integral dari sistem kehidupan Islam yang bertujuan menciptakan keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan.

Dalam konteks sosial, ekonomi syariah memperkuat solidaritas dan kepedulian antarkelompok masyarakat melalui instrumen seperti zakat, wakaf, dan infak.

Prinsip utama dalam ekonomi Syariah seperti larangan riba, keharusan akad yang jelas, dan kewajiban distribusi kekayaan mendorong sistem ekonomi yang inklusif dan etis. Dengan membina sektor riil dan memberdayakan pelaku UMKM, ekonomi syariah menjadi landasan strategis dalam menciptakan kemandirian ekonomi umat.

Model pembiayaan berbasis bagi hasil seperti musyarakah dan mudharabah mendorong wirausaha, inovasi, dan kolaborasi. Lembaga-lembaga keuangan mikro syariah seperti BMT (Baitul Maal wat Tamwil) telah terbukti berkontribusi signifikan dalam memberdayakan ekonomi masyarakat kecil dan menengah.

Hasil studi IRTI-IsDB tahun 2022 menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem keuangan syariah yang kuat cenderung lebih tangguh dalam menghadapi krisis keuangan global. Sementara itu, riset dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (2023) menyimpulkan bahwa UMKM yang mendapatkan pembiayaan syariah memiliki tingkat kelangsungan usaha 20 persen lebih tinggi dibandingkan UMKM konvensional.

Laporan World Bank tahun 2024 juga menunjukkan bahwa inklusi keuangan syariah berkontribusi signifikan dalam penurunan angka kemiskinan di negara-negara mayoritas Muslim. Di Indonesia, peningkatan inklusi keuangan syariah turut mempercepat program-program pengentasan kemiskinan berbasis komunitas.

Momentum strategis

Tahun Baru Islam adalah momen ideal untuk memulai perubahan, tidak hanya dalam aspek spiritual tetapi juga sosial dan ekonomi. Hijrah ekonomi berarti berpindah dari sistem yang eksploitatif menuju sistem yang adil, berkah, dan menyejahterakan.

Dalam hal ini momentum Tahun Baru Islam dapat menjadi penguatan pondasi ekonomi Syariah yang mengedepankan prinsip keadilan dan peningkatan kesejahteraan umat tersebut.

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia bukan sekadar tren temporer, tetapi mencerminkan sebuah transformasi sistemik menuju ekonomi yang lebih adil, inklusif, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat luas.

Dengan dukungan regulasi yang tepat, literasi yang terus ditingkatkan, dan sinergi antara lembaga keuangan syariah, pemerintah, serta masyarakat, maka ekonomi syariah memiliki potensi besar untuk menjadi penggerak utama pembangunan nasional dan pengentasan kemiskinan

Di tengah tantangan global yang makin kompleks, sistem ekonomi yang menjunjung nilai-nilai moral dan sosial seperti dalam syariah Islam menjadi alternatif yang kuat dan berdaya tahan.

Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki modal besar untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai instrumen strategis dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera secara spiritual maupun material.

*) Dr. M. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.