Indonesia tidak perlu takut ditinggalkan Barat, karena sejarah membuktikan: dunia menghormati keberanian dan kepemimpinan visioner, bukan keragu-raguan

Bogor (ANTARA) - Krisis kemanusiaan yang terus terjadi di Palestina bukan sekadar persoalan konflik wilayah atau sengketa tanah, melainkan cerminan dari kegagalan sistem global dalam menjamin keadilan, serta refleksi dari perpecahan umat Islam yang kian akut.

Setiap bom yang dijatuhkan, setiap nyawa yang melayang, dan setiap keluarga yang tercerai-berai di Gaza dan Tepi Barat adalah luka terbuka bagi seluruh umat.

Namun, mengapa tragedi ini berlangsung begitu lama, nyaris tanpa harapan penyelesaian yang adil?

Sejak akhir abad ke-19, ketika gerakan Zionisme mulai menggalang dukungan untuk mendirikan negara bagi orang Yahudi di tanah Palestina, peta politik kawasan Timur Tengah mulai berubah secara radikal.

Melalui Deklarasi Balfour 1917 dan pengaruh kuat negara-negara kolonial seperti Inggris, imigrasi besar-besaran ke Palestina terjadi. Saat negara Israel diproklamasikan tahun 1948, lebih dari 700.000 warga Palestina terusir dari tanah mereka.

Tragedi ini dikenal sebagai Nakbah, bencana nasional Palestina yang hingga kini belum menemukan akhir. Sejak saat itu, siklus kekerasan, pendudukan, blokade, dan ketidakadilan terus berlangsung.

Selama beberapa dekade, upaya internasional untuk menyelesaikan konflik Palestina - Israel melalui pendekatan diplomatik nyaris tak menghasilkan perubahan berarti. Pendudukan terus meluas, permukiman ilegal terus dibangun, dan Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam, terus menghadapi ancaman.

Namun ironisnya, dunia Islam yang terdiri atas lebih dari 50 negara, dengan sekitar 2 miiliar penduduk Muslim, belum mampu memberikan dukungan nyata yang efektif bagi rakyat Palestina. Solidaritas memang banyak, tetapi kekuatan kolektif yang terorganisir masih jauh dari harapan.

Hari ini, umat Islam tersebar di berbagai belahan dunia, dengan sumber daya alam dan manusia yang luar biasa. Namun, realitas menunjukkan bahwa potensi ini terfragmentasi. Nasionalisme sempit, rivalitas politik, serta tekanan eksternal telah memecah belah kekuatan umat Islam menjadi bagian-bagian kecil yang tak mampu bertindak secara kolektif untuk membela sesama.

Padahal sejarah mencatat, dalam banyak fase peradaban Islam, persatuan di bawah satu kepemimpinan mampu menjadi perisai bagi umat, sekaligus pembawa keadilan bagi yang tertindas.

Baca juga: Global March to Gaza: Tujuan, tuntutan, dan 10 aktivis Indonesia

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.