Jakarta (ANTARA) - Reformasi agraria menjadi suatu proses perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki struktur kepemilikan dan penggunaan lahan pertanian, untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan, serta mempromosikan pengembangan pertanian yang berkelanjutan dan adil.
Setidaknya ada empat tujuan reformasi agraria. Pertama, mengurangi ketimpangan yang cukup besar antara pemilik lahan besar dan petani kecil.
Kedua, memberikan kesempatan kepada petani kecil untuk memiliki dan mengolah lahan sendiri. Ketiga, meningkatkan produksi pertanian dengan cara yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dan keempat, meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup petani dan masyarakat pedesaan.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, dibutuhkan prinsip-prinsip reformasi agraria antara lain mengutamakan keadilan dalam distribusi lahan dan sumber daya.
Kemudian, mengutamakan kesetaraan antara petani kecil dan pemilik lahan besar. Lalu, mengutamakan kemandirian petani dalam mengolah lahan dan mengambil keputusan. Dan mengutamakan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam konteks Indonesia, reformasi agraria telah menjadi salah satu prioritas pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan, serta mempromosikan pengembangan pertanian yang berkelanjutan dan adil.
Bagi bangsa ini, yang sebagian besar warga masyarakatnya hidup dan berpenghidupan dari sektor pertanian dalam arti luas, lahan merupakan segala-galanya.
Lahan pertanian ini tampil menjadi faktor utama penjamin keberlangsungan hidup warga bangsa. Itu sebabnya, perlindungan terhadap lahan pertanian, khususnya lahan sawah, menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Sadar akan hal seperti ini, sekitar 16 tahun lalu, Pemerintah telah menerbitkan regulasi setingkat Undang Undang yang mengatur tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Sejarah lahirnya UU Nomor 41 Tahun 2009 tersebut menarik untuk disampaikan, karena dalam agenda pembahasan UU ini sempat terjadi perdebatan hangat soal "Sawah Abadi".
Menariknya, karena dalam pencarian judul dari UU ini muncul usul agar nama judul regulasi yang akan diterbitkan diberi nama UU Sawah Abadi.
Pro dan kontra pun terjadi dalam pembahasan berikutnya. Ujung-ujungnya disepakati tidak menggunakan kata "abadi", tapi dalam bahasa hukum dianggap lebih pas jika menggunakan kata berkelanjutan. Begitu pun dengan kata "sawah". Lebih cocok diganti dengan "Pertanian Pangan Berkelanjutan".
Baca juga: Badan Bank Tanah komitmen sejahterakan masyarakat lewat penataan tanah
Keberadaan lahan pertanian itu sendiri, khususnya sawah di negeri ini, betul-betul memiliki nilai tersendiri dalam kehidupan masyarakat.
Sawah inilah "mesin" pencetak nasi untuk bangsa ini yang konsumsi sehari-harinya nasi sebagai kebutuhan bahan pangan utama. Itu sebabnya, keberadaan sawah harus dijaga dan dilestarikan sebagai investasi kehidupan masa depan.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.