Jakarta (ANTARA) - Dalam beberapa tahun terakhir, pertanian menjadi salah satu sektor yang mengalami transformasi diam-diam namun revolusioner.

Di tengah berbagai tantangan mulai dari krisis iklim, degradasi lahan, hingga penurunan produktivitas petani kecil, hadirnya kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) menjanjikan jalan baru.

Bukan sebagai pengganti manusia, melainkan sebagai alat bantu yang membuka akses pada pengetahuan, efisiensi, dan ketahanan sistem pangan yang lebih tangguh.

Di Indonesia, isu ini masih terkesan sebagai wacana futuristik, padahal di berbagai belahan dunia, AI telah masuk ke sawah dan ladang, menggantikan metode konvensional yang selama ini mengandalkan intuisi, tenaga manusia, dan prakiraan yang belum tentu akurat.

Salah satu contoh paling konkret dari kemajuan teknologi pertanian berbasis AI adalah penggunaan robot pengendali gulma seperti LaserWeeder G2 dan sistem “See & Spray” dari John Deere.

Teknologi ini bekerja dengan prinsip penglihatan komputer dan algoritma pembelajaran mesin untuk membedakan tanaman utama dari gulma yang tidak diinginkan.

Setelah terdeteksi, gulma dihancurkan dengan sinar laser presisi atau disemprotkan herbisida secara selektif.

Sebuah studi yang diterbitkan oleh PrecisionAg Alliance pada 2024 mencatat bahwa sistem See & Spray berhasil mengurangi penggunaan herbisida hingga 77 persen di lahan kedelai dan jagung di Amerika Serikat.

Angka ini bukan hanya berarti penghematan biaya, tetapi juga pengurangan jejak lingkungan yang selama ini menjadi masalah besar akibat penggunaan pestisida secara masif.

Namun, kisah tentang AI dalam pertanian tak hanya terjadi di ladang skala besar di negara maju. Justru yang paling menarik adalah bagaimana teknologi serupa mulai diadaptasi untuk menjangkau petani kecil.

Di India, proyek AI4AI (Artificial Intelligence for Agriculture Innovation) yang dikembangkan oleh Microsoft dan ICRISAT menyediakan layanan berbasis pesan singkat untuk petani di Telangana.

Petani cukup mengirim foto daun tanaman mereka melalui WhatsApp, lalu sistem AI akan mendiagnosis gejala penyakit dan memberi saran perawatan berdasarkan data agronomi lokal.

Menurut laporan World Economic Forum 2024, program ini telah membantu meningkatkan produktivitas hingga 30 persen dan mengurangi kerugian panen akibat penyakit tanaman secara signifikan.


Menjembatani kesenjangan

Indonesia sesungguhnya memiliki potensi besar untuk mengadopsi model serupa. Hasil Sensus Pertanian 2023 menyebutkan penguasaan lahan petani di Indonesia kurang dari 0,25 hektare atau disebut sangat guram bahkan sebanyak 40 persen.

Adapun petani guram dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare mencapai 62,14 persen. Alhasil, jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) guram menjadi 16,89 juta, naik 18,49 persen dari RTUP guram pada 2013 yang sebanyak 14,25 juta.

Mereka kerap kekurangan akses terhadap penyuluhan, teknologi, dan informasi pasar. Dalam kondisi ini, AI dapat menjembatani kesenjangan tersebut.

Melalui sistem berbasis pesan instan atau chatbot berbahasa daerah, petani bisa mendapatkan rekomendasi pemupukan, jadwal tanam, atau peringatan dini hama berbasis data iklim dan kondisi tanah di lokasi mereka.

Salah satu studi terbaru yang relevan untuk konteks Indonesia adalah riset dari CIFOR-ICRAF (2023) tentang peluang AI dalam memperkuat pertanian adaptif di Asia Tenggara.

Dalam laporannya, disebutkan bahwa AI yang diintegrasikan dengan data cuaca lokal, sensor tanah, dan sistem peringatan dini berbasis citra satelit dapat membantu petani merespons perubahan iklim lebih cepat.

Sebagai contoh, AI dapat memprediksi waktu optimal tanam padi berdasarkan pola curah hujan dan indeks kekeringan tanah.

Di Sulawesi Selatan, pendekatan serupa sudah mulai diuji coba dengan menggandeng startup agroteknologi lokal yang mengembangkan dashboard prediksi berbasis data BMKG.

Namun, optimisme ini harus disertai kesadaran akan tantangan yang ada. Di Indonesia, tantangan terbesar bukan pada absennya teknologi, melainkan soal kesiapan ekosistem, termasuk literasi digital petani, infrastruktur jaringan, serta mekanisme pendanaan.

Dari analisis mikrodata Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 diperoleh bahwa proporsi petani padi pengguna internet adalah 10,8 persen, sedangkan sisanya 89,2 persen tidak menggunakan internet.

Angka ini menunjukkan bahwa untuk menghadirkan AI ke sawah, perlu pendekatan berbasis komunitas, pelatihan berkelanjutan, dan intervensi kebijakan yang proaktif.

Selain itu, muncul pula persoalan terkait kepemilikan data pertanian. Dalam sistem berbasis AI, data petani, mulai dari hasil panen, pola tanam, hingga lokasi lahan, berpotensi menjadi komoditas baru.

Tanpa kerangka regulasi yang kuat, data ini bisa diakses atau dimanfaatkan oleh pihak ketiga tanpa persetujuan.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk merancang kebijakan perlindungan data agrikultur, seperti yang sudah diterapkan di Uni Eropa lewat General Data Protection Regulation (GDPR) untuk sektor pertanian cerdas.


Ekosistem inovasi

Ke depan, pendekatan yang perlu diambil bukan sekadar digitalisasi teknis, melainkan transformasi sistem agrikultur berbasis pengetahuan. AI harus menjadi alat bantu bagi penyuluh pertanian, bukan pengganti.

Petani tetap menjadi aktor utama, dan teknologi hanya menjadi jembatan agar pengetahuan modern dapat hadir dalam bahasa, konteks, dan keseharian mereka.

Oleh karena itu, program-program pelatihan seperti yang dilakukan oleh FAO dan IRRI di beberapa negara ASEAN dapat menjadi rujukan.

Mereka mengintegrasikan pelatihan teknologi digital ke dalam kurikulum sekolah lapang, dengan pendekatan partisipatif dan berbasis masalah nyata di lapangan.

Sebagai alat bantu, di setiap wilayah juga sudah saatnya ada penyuluh lokal yang melek AI sebagai verifikasi output AI yang dihasilkan.

Di sisi lain, penting juga membangun ekosistem inovasi lokal. Indonesia memiliki talenta muda di bidang teknologi yang sangat potensial.

Lomba inovasi agroteknologi berbasis AI yang diselenggarakan oleh BRIN, Kementerian Pertanian, dan universitas-universitas bisa menjadi inkubator solusi.

Aplikasi generatif AI khusus pertanian, misalnya “Tanya Tani” versi lokal yang bisa menjawab pertanyaan dalam bahasa Jawa, Sunda, atau Bugis, bisa menjadi inovasi konkret yang mempercepat transformasi digital di desa.

Tantangan global pangan bukan hanya soal produksi, tetapi juga efisiensi dan keadilan akses. AI, jika diposisikan dengan benar, bisa membantu pertanian Indonesia melompat tanpa harus meniru sepenuhnya model negara maju.

Justru dengan konteks keunikan lokal, beragam agroekosistem, budaya bertani, hingga tantangan iklim tropis, Indonesia bisa menjadi laboratorium inovasi pertanian cerdas yang inklusif.

Oleh karena itu, AI dalam pertanian bukan hanya soal otomatisasi dan robotik. Ini adalah tentang membuka ruang baru bagi petani untuk berdaya dengan informasi.

Ini tentang memastikan bahwa setiap keputusan tanam, panen, dan pengolahan dilakukan dengan wawasan yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih murah.

Dan lebih dari itu, ini adalah tentang masa depan pertanian yang tidak hanya tangguh terhadap perubahan, tapi juga adil dan manusiawi.


*) Penulis adalah Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, BRIN.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.