Jakarta (ANTARA) - Indonesia sedang menghadapi tantangan besar dalam sistem pelayanan kefarmasian yang selama ini kerap luput dari perhatian publik.
Di tengah meningkatnya kebutuhan akan layanan kesehatan yang aman, efektif, dan merata, peran apoteker menjadi semakin penting.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa jumlah dan distribusi apoteker di Indonesia masih jauh dari ideal. Tidak hanya terbatas secara kuantitas, tetapi juga dari sisi kualitas dan pemerataan wilayah, terutama di luar kota-kota besar.
Apoteker kini bukan lagi sekadar penjaga apotek. Peran mereka meluas ke berbagai lini, dari rumah sakit dan industri farmasi, distribusi alat kesehatan, hingga pengawasan mutu dan regulasi di lembaga pemerintahan.
Mereka juga menjadi bagian integral dari tim pelayanan kesehatan yang ikut serta dalam pengambilan keputusan terapi bagi pasien.
Dalam konteks ini, kehadiran apoteker profesional tidak bisa lagi dianggap sebagai pelengkap, melainkan sebagai kebutuhan mendasar sistem kesehatan nasional.
Pembukaan Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker (PSPPA) di sejumlah perguruan tinggi merupakan salah satu jawaban terhadap mandat Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, yang mensyaratkan lulusan sarjana farmasi untuk menempuh pendidikan profesi sebelum dapat berpraktik secara legal.
Hal ini mempertegas bahwa praktik kefarmasian tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Namun harus dijalankan oleh tenaga profesional yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial.
Pendidikan profesi apoteker bukan sekadar formalitas akademik. Tetapi dirancang untuk membentuk kompetensi menyeluruh melalui kombinasi antara pembelajaran teori dan praktik lapangan.
Mahasiswa diwajibkan menjalani praktik kerja profesi di institusi kesehatan yang beragam seperti rumah sakit, apotek, distributor obat dan alat kesehatan, industri farmasi, serta instansi pemerintah.
Praktik ini mencerminkan keragaman peran apoteker dalam dunia nyata sekaligus melatih kemampuan adaptasi di berbagai kondisi kerja.
Setelah menyelesaikan program dengan beban 36 SKS, termasuk Ujian Kompetensi Mahasiswa Profesi Apoteker Indonesia (UKMPPAI), para lulusan baru bisa mengajukan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) yang menjadi syarat legal untuk menjalankan praktik.
Ini menunjukkan betapa ketatnya standar yang harus dipenuhi demi menjamin mutu dan kepercayaan publik terhadap profesi ini.
Namun tantangan tak berhenti pada tahap pendidikan. Distribusi apoteker masih belum merata di Indonesia. Banyak daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang kekurangan tenaga kefarmasian.
Padahal, di wilayah-wilayah tersebut seringkali justru risiko penggunaan obat tidak rasional jauh lebih tinggi. Tanpa kehadiran apoteker, masyarakat dihadapkan pada kemungkinan besar penggunaan obat yang salah dosis, salah indikasi, atau bahkan konsumsi obat palsu dan ilegal. Ini dapat berdampak fatal dan membebani sistem kesehatan secara keseluruhan.
Karena itu, perguruan tinggi farmasi di Indonesia memegang peran strategis. Bukan hanya sebagai pencetak tenaga kerja terdidik, tetapi juga sebagai motor penyebaran nilai-nilai etika, integritas, dan tanggung jawab sosial dalam praktik kefarmasian.
Pengembangan kurikulum
Keterlibatan organisasi profesi seperti Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), rumah sakit, industri, dan instansi pemerintah dalam pengembangan kurikulum menjadi penting untuk memastikan bahwa lulusan benar-benar siap menghadapi kompleksitas sistem kesehatan Indonesia.
Sistem pendidikan farmasi yang ideal adalah yang mampu menghasilkan nine stars pharmacist sebagaimana digagas WHO yakni apoteker yang mampu menjadi caregiver, decision maker, communicator, manager, leader, life-long learner, teacher, researcher, dan entrepreneur.
Salah satu perguruan tinggi yang punya komitmen pada kurikulum yang partisipatif dan kontekstual adalah PSPPA Universitas Pelita Harapan (UPH).
Dalam proses penyusunan, UPH melibatkan pakar kurikulum dari Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), serta masukan dari pengguna lulusan seperti rumah sakit, industri farmasi, dan instansi pemerintahan.
Pendekatan ini memastikan bahwa kurikulum tetap relevan dengan kebutuhan lapangan dan perkembangan terbaru dalam dunia kefarmasian.
Ini bukan sekadar jargon, tetapi cerminan peran multidimensi yang semakin nyata di lapangan. Apoteker masa depan tidak hanya dituntut piawai dalam formulasi obat, tetapi juga mampu berkontribusi dalam inovasi teknologi farmasi, digitalisasi layanan kesehatan, serta manajemen logistik yang efisien.
Dunia berubah cepat. Teknologi mendorong transformasi layanan kesehatan menuju sistem yang lebih terintegrasi, berbasis data, dan personal. Dalam lanskap baru ini, apoteker memiliki peran penting sebagai penghubung antara sains dan pasien.
Mereka menjadi garda terdepan dalam memastikan obat yang dikonsumsi masyarakat aman, berkualitas, dan sesuai dengan kebutuhan klinis yang terukur.
Terlebih dalam era pasca-pandemi yang menuntut sistem kesehatan lebih gesit dan tangguh, peran apoteker sebagai konsultan terapi menjadi semakin krusial.
Maka, pendidikan profesi apoteker bukan hanya tentang memenuhi syarat legal, tetapi menjadi investasi jangka panjang bagi ketahanan kesehatan nasional.
Dibutuhkan komitmen dari semua pemangku kepentingan, pemerintah, perguruan tinggi, organisasi profesi, industri, hingga komunitas masyarakat, untuk mendukung tumbuhnya ekosistem pendidikan apoteker yang kuat dan berkelanjutan.
Indonesia tidak bisa lagi menunda perbaikan sistem distribusi dan kualitas tenaga kefarmasian. Setiap tahun yang berlalu tanpa peningkatan signifikan berarti membiarkan jutaan penduduk Indonesia menghadapi risiko kesehatan yang seharusnya bisa dicegah.
Apoteker bukan sekadar bagian dari sistem. Mereka adalah pilar utama untuk memastikan bahwa pelayanan kesehatan berjalan secara bertanggung jawab, ilmiah, dan manusiawi.
Dengan mendorong hadirnya lebih banyak pendidikan profesi apoteker yang berkualitas, Indonesia sedang menyiapkan fondasi bagi masa depan kesehatan yang lebih berkeadilan.
Di tangan para apoteker yang profesional dan berdedikasi, harapan akan layanan kesehatan yang menjangkau semua kalangan dan wilayah bukan lagi sekadar angan, tetapi kenyataan yang terus didekati hari demi hari.
*) Penulis adalah Ketua Program Studi Profesi Apoteker UPH.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.