Jakarta (ANTARA) - Suatu kebanggaan jika 281 juta konsumen Indonesia, kini telah dipayungi oleh sebuah produk hukum yang bertajuk UU Perlindungan Konsumen (UUPK), yakni UU No. 8 Tahun 1999.
UUPK yang disahkan pada 25 tahun silam di era Presiden BJ Habibie ini merupakan UU yang berkarakter general, maka kadang disebut sebagai "UU Payung" (umbrella act).
Oleh karenanya substansi UU Perlindungan Konsumen juga berkarakter general (bersifat umum), dan bisa diterapkan pada semua komoditas, baik komoditas barang dan atau jasa. Tidak salah juga jika UUPK disebut sebagai "UU sapu jagat".
Sejatinya, kendati telah berusia lebih dari seperempat abad, secara umum substansi UUPK masih bisa mengakomodasi berbagai persoalan konsumen di Indonesia, namun berkelindan dengan berbagai isu perlindungan konsumen yang bergerak progresif, substansi UUPK memang tampak limbung saat diimplementasikan untuk melindungi konsumen.
Oleh karenanya, menjadi sangat wajar, jika publik meminta DPR dan pemerintah untuk merevisi/mengamandemen UU Perlindungan Konsumen.
Gayung bersambut. Aspirasi publik mendapat respons dari pemerintah dan DPR, tersebab kini amandemen UU Perlindungan Konsumen sudah diakomodasi dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR, dan menjadi Prolegnas prioritas.
Kini amandemen UU Perlindungan Konsumen sedang digodok secara intens oleh Komisi VI DPR. Banyak pemangku kepentingan yang telah dimintai masukan melalui proses rapat dengar pendapat umum (RDPU).
Lalu, isu apa saja yang musti diakomodasi dan diperhatikan oleh DPR, dan juga eksekutif? Ibarat the ten commandment, maka setidaknya terdapat 10 poin yang musti mendapatkan perhatian serius untuk mengamandemen UU Perlindungan Konsumen.
Pertama, mengusung isu paradigma konsumsi berkelanjutan (sustainable consumption). Isu ini sangat penting seiring dengan fenomena perubahan iklim global, bahkan krisis iklim. Fenomena perubahan iklim dan klimaksnya krisis iklim, salah satu pemicu signifikannya adalah pola konsumsi yang tidak berkelanjutan.
Oleh karena itu amandemen UU Perlindungan Konsumen musti mengusung isu konsumsi berkelanjutan, sejak dari sisi hulu (oleh pelaku usaha), hingga sisi hilir (oleh konsumen). Konsumsi berkelanjutan berkarakter multi dimensi, baik dari sisi ekonomi, kesehatan, atau bahkan lingkungan. Kesukaan mengonsumsi minuman manis dalam kemasan (MBDK) dan aktivitas merokok, adalah salah satu wujud pola konsumsi yang tidak berkelanjutan.
Kedua, perlindungan konsumen rentan. Karakter dan kondisi fisik konsumen sangatlah berbeda dengan konsumen secara umum. Konsumen rentan meliputi, antara lain kelompok difabel, orang tua, orang sakit, ibu hamil, anak-anak, dan kelompok berkebutuhan khusus lainnya. Hak hak mereka musti diakomodasi dalam UUPK.
Dalam ranah pelayanan publik, produk barang dan atau jasa, hak-hak mereka sering terpinggirkan. Bandingkan dengan negara lain yang sangat peduli dengan hak konsumen rentan, misalnya produk barang (seperti minuman) yang labelnya bisa dibaca dengan huruf Braile.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.