Kalau dia penjaga ya enggak usah ngatur. Ini penjaga (konstitusi), tapi ikut ngatur. Bahkan, dia menyebut dirinya guardian of constitution. Dia menjadi penjaga konstitusi, MK. Nah, kok banyak keputusannya bukan hanya menjaga? Ikut ngatur pula. Norma-
Jakarta (ANTARA) - Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI Jazilul Fawaid mempertanyakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mengeluarkan putusan yang di dalamnya ikut mengatur penormaan suatu undang-undang.
"Kalau dia penjaga ya enggak usah ngatur. Ini penjaga (konstitusi), tapi ikut ngatur. Bahkan, dia menyebut dirinya guardian of constitution. Dia menjadi penjaga konstitusi, MK. Nah, kok banyak keputusannya bukan hanya menjaga? Ikut ngatur pula. Norma-norma baru dibuat," kata Gus Jazil, sapaan karibnya.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi oleh Fraksi PKB DPR RI terkait putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal bertajuk "Proyeksi Desain Pemilu Pascaputusan MK" di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat.
Gus Jazil menilai putusan MK yang di dalamnya ikut menormakan tersebut berpotensi memicu kontroversi publik, sebagaimana sejumlah putusan MK yang dikeluarkan MK beberapa waktu belakangan.
Sebab, kata dia, MK melalui putusannya bertindak sebagai negative legislator dan menerapkan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), serta putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).
"Saya tidak mengatakan (putusan) final dan binding kemudian kami tidak akui, tapi kontroversi, dan itu muncul di Mahkamah yang di situ putusannya enggak bisa lagi dibanding lagi, sudah final, tapi kontroversi," ucapnya.
Dia pun memandang putusan MK sering kali membuat desain pemilu hingga aturan terkait di dalamnya berubah-ubah. Mulai dari, mengubah ketentuan usia calon presiden dan wakil presiden hingga menghapus ketentuan ambang batas pemilu presiden (presidential threshold) menjadi nol persen.
"Ini lagi ada istilah baru, pemilu nasional (dipisah) dengan pemilu daerah dengan alasan 'capek' katanya," ujarnya.
Adapun terkait putusan MK teranyar yang memisahkah pemilu nasional dan pemilu lokal, dia menyebut bahwa hal itu akan berimplikasi terhadap beban kerja partai politik yang menjadi ganda.
"Yang pemilu lokal dan nasional itu ya tentu kami dua kali kerja kalau partai politik; yang pertama menyiapkan saksi untuk pemilu nasional; yang kedua kami juga menyiapkan saksi untuk pemilu lokal," tuturnya.
Dia menambahkan bahwa pemisahan pemilu nasional dan daerah tersebut juga akan berkonsekuensi pada besaran anggaran yang akan bertambah sebab diselenggarakan pada waktu berbeda.
"Yang memilih itu-itu juga, yang memilih di nasional itu, yang memilih di lokal itu. Waktunya yang dibedakan, (pemilih) tidak ada yang berubah, karena waktu yang dibedakan ada konsekuensi terhadap dana, terhadap anggaran," kata dia.
Pada diskusi tersebut turut hadir sejumlah narasumber, di antaranya anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Rahmat Bagja, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Peneliti Utama Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6).
Baca juga: Ketua K3 MPR: DPRD tak bisa diperpanjang-dikosongkan demi putusan MK
Baca juga: Ketua DPR: Putusan MK akan disikapi bersama oleh para partai politik
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.