Jakarta (ANTARA) - Hari Bulu Tangkis Sedunia kembali dirayakan pada 5 Juli. Di banyak negara, perayaan ini menjadi momentum untuk merayakan warisan kejayaan, semangat sportivitas, dan pencapaian-pencapaian membanggakan.
Tapi di Indonesia, negara yang selama puluhan tahun menjadi poros kekuatan olahraga tepok bulu itu, hari ini justru menggugah kesadaran kolektif akan sesuatu yang mulai retak pada prestasi, motivasi, dan arah pembinaan olahraga ini.
Alih-alih dipenuhi kabar kemenangan, perayaan kali ini diwarnai keprihatinan.
Hingga pertengahan tahun 2025, belum satu pun gelar dari turnamen BWF World Tour level Super 500 ke atas diraih wakil Merah Putih.
Catatan terbaik hanya datang dari turnamen Super 300 seperti Thailand Masters dan Taiwan Open 2025.
Sebuah sinyal krisis yang tak lagi bisa dianggap sebagai “fase wajar”.
Unggahan harapan dari akun media sosial PBSI yang berbunyi “Mari terus jadikan bulu tangkis sebagai olahraga yang penuh prestasi untuk kebanggaan dan kegembiraan bangsa” menjadi bumerang.
Kolom komentarnya dipenuhi suara publik yang kecewa, marah, dan tidak lagi percaya pada jargon. Ketika prestasi tak hadir, kata-kata kehilangan maknanya. Namun ada juga yang berkomentar bernada positif. Memberikan dukungan.
Rapuh di titik paling dasar
Memang orang bisa berdalih bahwa regenerasi butuh waktu. Orang bisa menyalahkan transisi atau cedera atlet. Tapi para legenda punya pandangan yang lebih tajam yang menyasar ke inti. Para atlet kehilangan motivasi. Dan ini bukan keluhan baru.
Dalam sebuah wawancara termasuk ANTARA, belum lama ini, Liem Swie King menyebut, secara teknis, atlet-atlet muda hari ini lebih baik dibanding generasinya.
Tapi mereka rapuh. Di usia 14–16 tahun, mereka luar biasa. Tapi begitu menginjak 18, grafik mereka turun drastis.
Mengapa? Karena kehilangan motivasi.
“Jangan merasa cukup jadi juara di Indonesia. Itu bukan apa-apa. Kalau bicara juara harus dunia,” kata King.
Kata-kata ini seperti tamparan. Nyaring. Penuh kekecewaan. Tapi juga kejujuran yang tak bisa dibantah.
Masalah makin dalam ketika sistem pun memelihara mental “aman”. Legenda bulu tangkis Imelda Wigoena secara gamblang menyebut saat ini banyak atlet lebih mengejar peringkat demi sponsor ketimbang fokus untuk menang.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.