Wamena (ANTARA) - Mama Tabuni, perempuan asal Kabupaten Tolikara, Papua Pegunungan, berjalan dengan menaruh noken (tas tradisional Papua) yang talinya ditautkan di kepala sebagai penahan.
Aktivitas harian itu dilakukan berulang kali di halaman tempat tinggalnya, saat ini, di Jalan Safri Darwin, Distrik Wamena Kota, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan.
Terkadang aktivitas yang sama dilakukan oleh anak-anaknya, baik yang masih berusia di bawah 10 tahun maupun usia remaja.
Mungkin sebagian orang menganggapnya sebagai aktivitas biasa, padahal yang dilakukan adalah aktivitas "membujuk" seorang balita agar nyaman, yang ditaruh di dalam noken.
Aktivitas ini, dalam bahasa Suku Dani dikenal sebagai "Su Elege Aleka" atau menggendong anak atau balita di dalam noken. Dalam pengertian yang lebih dalam, "su" artinya noken, "elege" artinya anak, dan "aleka" tempat balita atau tempat mengisi, menggendong balita.
"Su Elege Aleka" merupakan warisan budaya masa lalu yang telah diwariskan oleh nenek moyang bagi masyarakat Papua Pegunungan, yang lestari, hingga saat ini.
Budaya atau kebiasaan ini masih dipraktikkan oleh masyarakat Papua Pegunungan pada umumnya di delapan kabupaten, di antaranya Jayawijaya, Lanny Jaya, Tolikara, Nduga, Yahukimo, Mamberamo Tengah, Pegunungan Bintang dan Kabupaten Yalimo.
Seorang perempuan asal Papua Pegunungan memiliki tanggung jawab ganda, baik sebagai seorang mama dari anak-anaknya, istri, dan juga menjadi tulang punggung keluarga.
Dalam filosofi masyarakat Papua pada umumnya, setelah maskawin dibayarkan secara tuntas pada saat pernikahan, maka tugas perempuan bukan hanya melahirkan dan membesarkan anak, tetapi sekaligus mengurus semua kebutuhan keluarga, dari dalam, hingga keluar rumah.
Dalam sektor pertanian atau perkebunan, contohnya, kaum pria biasanya bertugas membongkar hutan dan membuat lahan pertanian. Selanjutnya dilanjutkan dengan tugas menanam, merawat, hingga waktunya panen.
Oleh sebab itu, dalam tradisi tersebut perempuan dituntut untuk menjadi kuat, sehingga dua atau tiga pekerjaan dilakukan dalam satu waktu.
Ketika seorang perempuan Papua Pegunungan bertugas menyusui anak, usai melahirkan, pada saat yang sama juga harus mengurus pertanian yang lahannya sudah digarap oleh kaum pria.
Aktivitas pertanian tetap berjalan seperti biasa dan merawat bayi pun berjalan di waktu yang sama. Oleh karena itu tradisi Su Elege Aleka diterapkan dalam satu waktu, sehingga pekerjaan itu tidak menjadi penghalang antara satu dengan yang lain.
“Budaya ini telah ada sejak lama dan diwariskan oleh orang tua kami, hingga saat ini,” kata pemerhati budaya dan noken Papua Pegunungan Maria K Logo ketika ditemui ANTARA.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.