Makassar (ANTARA News) - Mantan aktivis Universitas Hasanuddin Nimatullah mengatakan gerakan mahasiswa atau demonstran tidak lagi murni aksi sosial, namun berubah hakikatnya di masa reformasi karena diduga disusupi kelompok tertentu untuk menyuarakan kepentingannya.

"Melihat buku ini memang judulnya masih tahun 80-an tetapi tidak lagi relevan dengan kondisi kekinian, kata demonstran ini sekarang tidak lagi murni gerakan mahasiswa," ujarnya dalam diskusi bedah buku "Demonstran dari Lorong Kambing" karya Prof Dr HM Amar Razak di Makassar, Sabtu.

Menurutnya, buku tersebut menjelaskan dan menceritakan perjuangan seorang aktivis yang masih murni memegang idealisme dan integritas, bahkan kecenderungan membahas banyak perseteruan anak lorong yang serba terbatas dengan kehidupan anak kompleks pejabat dimana semuanya tidak terbatas.

"Buku ini sangat baik menjadi referensi mahasiswa di zaman sekarang karena bisa menjadi dasar ketika melakukan pergerakan. Buku ini bercerita di zaman kami dulu yang sangat terbatas," tandas mantan Ketua Senat Ekonomi Unhas angkatan 80-an itu kini menjabat Wakil Ketua DPRD Sulsel.

Sementara pembedah buku lainnya Firdaus Muhammad mengatakan buku setebal setebal 285 halaman ini mendeskripsikan peristiwa yang melibatkan tokoh-tokohnya, bersama dengan Amran Razak sebagai sentrum cerita sekaligus penutur.

"Dalam buku ini jelas menceritakan peran aktivis di masa lampau yang betul-betul berjuang untuk kepentingan rakyat dan berbeda dengan demostrasn di masa sekarang ini," katanya.

Dalam buku tersebut dijelaskan lorong kambing sebagai titik awal sosok Amran Razak lahir sebagai tokoh. Lorong ini tentu berbeda dengan kompleks atau perumahan elit disekitar tempat tinggalnya dengan anak remaja lapisan atas kota Makassar.

Sementara lorong kambing adalah tipikal gang, hunian perkotaan yang dipenuhi sesak penduduk, rata-rata ditinggali warga kelas sosial bawah seperti buruh harian, pegawai rendahan, tukang becak hingga, pengangguran.

Deskripsi Amran Razak pun mengungkapkan lorong merupakan wilayah egaliter dimana orang-orang saling mengenal, saling mendukung dan melindungi. Kemudian mereka membentuk solidaritas rakyat bawah dan hampir setiap urusan adalah urusan bersama, apalagi berurusan dengan masalah publik.

Sosok Amran yang terlahir dari rakyat bawah berhasil mendapatkan status mahasiswa kala itu status tersebut hanya disandang orang kalangan atas saja. Namun Amran tetap bersahabat dengan para tukang becak, pemilik dan penjaga warung kopi termasuk sahabat kecilnya di kalangan bawah.

Bahkan sahabat masa kecilnya dan orang-orang tua menjadi saksi pertumbuhan dan jenjang karirnya tetap dikenalinya mekipun telah menjadi tokoh di Sulsel.

Kendati terlahir dari lingkup pegawai negeri namun tinggal dilorong membuat jiwa idealisme Amran kini menjadi Guru besar Universitas Hasanuddin tumbuh subur bahkan saat menjadi aktivis. Menjadi buron kemudian ditangkap, disel petugas sudah menjadi kebiasaan bersama rekan seperjuangan ketika menyuarakan kebenaran dan perlawanan di masa orde baru.

Dalam diskusi bedah buku itu tampak hadir Presidium KAHMI Sulsel Tobo Haeruddin, pembedah buku yakni mantan Dekan FTI UMI Dirgahayu Lantara, dosen UIN Alauddin yang juga pengamat politik Firdaus Muhammad, Wakil Ketua DPRD Sulsel Ni'matullah, dan Muhammad Yusuf AR dipandu AS Kambie sebagai moderator dan sejumlah aktivis dan wartawan.

Pewarta: Darwin Fatir
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015