Pemasangan BTS sebagai salah satu proyek di Kemkominfo dengan kebijakan satu desa perbatasan satu BTS, ini bisa mendekatkan masyarakat di perbatasan melalui komunikasi,"
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi penerima sinyal atau "Base Transceiver Station" (BTS) di daerah perbatasan adalah salah satu instrumen pemersatu bangsa.

"Pemasangan BTS sebagai salah satu proyek di Kemkominfo dengan kebijakan satu desa perbatasan satu BTS, ini bisa mendekatkan masyarakat di perbatasan melalui komunikasi. Hal ini harus dilakukan karena mereka tetap bagian dari NKRI juga," kata Rudiantara di jakarta, Jumat.

Proyek BTS tersebut, kata Rudiantara, adalah kerja sama antara pemerintah pusat melalui provinsi, kabupaten dan kota serta operator komunikasi dengan kontribusi masing-masing.

Tugas pemerintah kabupaten yang memiliki desa terpencil dekat perbatasan itu adalah menyediakan tanah dan kemudian biaya operasional listrik menara tersebut, seperti pengadaan generator listrik dan bahan bakarnya, hingga gaji operatornya.

Sementara itu, pemerintah provinsi menanggung biaya pembuatan dan pendirian menara, lalu operator telekomunikasi menyediakan teknologi, teknisi dan perangkat yang diperlukan sehingga bisa terjadi sambungan komunikasi.

Rudi mengatakan, pembangunan infrastruktur komunikasi tersebut adalah satu BTS untuk satu desa atau kota di seluruh perbatasan darat Indonesia. Namun untuk saat ini, Kemkominfo baru membangun di lima desa perbatasan di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur sebagai proyek percontohan.

"Dari tiga perbatasan darat Indonesia kita memang saat ini baru memfokuskan di Kalimantan terlebih dahulu. Kita juga mengutamakan daerah yang memang kesulitan dana untuk pembangunan dengan model subsidi least cost dari dana wajib negara atau USO (Universal Service Obligation)," katanya.

Selain BTS untuk telekomunikasi, kata Rudi, pihaknya juga akan mengupayakan informasi-informasi yang berasal dari pusat atau daerah lain di pelosok Indonesia bisa diterima oleh masyarakat perbatasan dengan mengalokasikan frekuensi khusus untuk dipinjamkan ke lembaga penyiaran publik.

Hal tersebut dilakukan oleh Kemkominfo karena melihat lembaga penyiaran swasta belum mau masuk ke wilayah perbatasan sehingga tidak ada pemancar di lokasi seperti itu karena mungkin dianggap tidak ekonomis dan menguntungkan.

"Mungkin karena ada anggapan tidak menguntungkan. Jadi ada keengganan memasang pemancar, makanya ada kebijakan dengan mengalokasikan frekuensi khusus untuk dipinjamkan, terutama ke RRI untuk mengcover daerah perbatasan karena masyarakat di sana adalah wilayah NKRI sehingga wajib mendapatkan perlakuan sebagai warga negara," ujarnya.

Pemerintah menargetkan pembangunan 120 menara telekomunikasi seluler (BTS) pada 120 desa di sepanjang 1.030 kilometer (km) perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara akan selesai pada semester kedua tahun 2016.

Sementara itu, desa-desa di perbatasan yang akan dibangun tersebut antara lain Long Nawang dan Tanjung Karang di Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, lalu di Desa Tabur Lestari, Aji Kuning, Sei Nyamuk di Seimanggaris, Kalimantan Utara dan Sei Pacung, Senaning serta Badau di Kalimantan Barat.

Proyek pembangunan 120 menara telekomunikasi ini serta cara kerja sama pembangunannya itu mengacu kepada proyek percontohan yang sudah dikerjakan untuk lima desa di Kabupaten Malinau di Kalimantan Utara dan Mahakam Ulu di Kalimantan Timur di perbatasan dengan Sabah dan Sarawak.

Operator seluler Telkomsel dipilih untuk menjalankan proyek ini. Bahkan, karena beratnya medan untuk mendirikan BTS, Pemprov Kaltim yang mendapat tugas mendirikan menara, menggandeng Detasemen Zeni Tempur (Denzipur) 7 Kodam VI Mulawarman.

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015