Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera melakukan penguatan upaya konservasi keanekaragaman hayati, antara lain dengan meningkatkan perlindungan terhadap satwa-satwa yang terancam punah seperti orangutan sumatera (Pongo abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus).

"Kita punya target meningkatkan 10 persen populasi 25 satwa terancam punah, salah satunya orangutan, dalam RPJM 2015-2019," kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Dahono Adji di Jakarta, Kamis.

"Berkenaan dengan itu kepala balai, baik Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam maupun Balai Taman Nasional sudah dikontak untuk melakukan penguatan konservasi keanekaragaman hayati," katanya.

Dalam rangka memperkuat upaya konservasi berkelanjutan, ia menjelaskan, pemerintah survei dan evaluasi habitat dan populasi, peningkatan populasi satwa yang terancam punah, serta aktif ikut dalam setiap kegiatan berkaitan dengan konservasi.

Selain itu, kementerian juga aktif menangani konflik manusia dan satwa, terus melakukan edukasi kepada masyarakat, dan mengoptimalkan pagu Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) untuk mengatasi ancaman kepunahan.

Ia mengatakan koordinasi yang baik antara Balai Konservasi Sumber Daya Alam, masyarakat dan swasta sangat penting untuk mencegah konflik manusia dan satwa sejak awal tapi sampai sekarang hal itu belum banyak dilakukan.

Edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya konservasi orangutan dan satwa lain yang terancam punah pun masih perlu ditingkatkan.

"Di sini peran NGO, termasuk TNC (The Nature Conservancy) menjadi penting. Karena tidak mudah memberikan pemahaman kepada masyarakat, bayangkan masih ada budaya mengkonsumsi satwa dilindungi di beberapa daerah termasuk Kalimantan," ujar Dahono.

Penyelamatan orangutan dari ancaman kepunahan, menurut dia, tidak mudah mengingat 70 persen habitatnya saat ini berada di luar kawasan lindung.

"Saya pikir lebih mudah mengubah kawasan lindung menjadi APL (Area Penggunaan Lain) jaman sekarang ini ketimbang merubah kawasan hutan produksi menjadi lindung," katanya.

Menurut dia, akan lebih mudah kalau pemilik Hutan Tanaman Industri atau pemegang Hak Pengusahaan Hutan mau menyediakan area konservasi.

"Bukan kawasan konservasi loh ya, tapi area konservasi, itu beda," ujar dia.

Sementara Program Manager TNC Niel Makinuddin mengatakan yang menjadi ancaman bagi orangutan saat ini adalah perubahan hutan menjadi perkebunan dan tambang.

Degradasi kawasan hutan habitat orangutan mencapai 1,5 persen per tahun di Sumatera dan dua persen per tahun di Kalimantan.

Selain itu, lanjut dia, kebakaran hutan dan perburuan juga mengancam populasi orangutan.

TNC merekomendasikan perbaikan kebijakan rencana tata ruang wilayah dan memperkuat penegakan hukum untuk menyelamatkan populasi dan habitat orangutan, khususnya di Kalimantan.

Organisasi konservasi itu juga merekomendasikan penerapan kebijakan perlindungan orangutan dengan menggunakan panduan perbaikan praktik pengelolaan (Better Management Practices/BMP) perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta pengelolaan konflik manusia dan orangutan.

Berdasarkan catatan TNC, luas area indikasi habitat orangutan yang tumpang tindih dengan HTI, kebun kelapa sawit, dan HPH di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara mencapai 103,917 kilometer persegi.

Sementara area yang diindikasi sebagai habitat orangutan yang tumpang tindih dengan aktivitas terkait pertambangan, mulai dari studi awal, studi kelayakan, eksplorasi, konstruksi, eksploitasi, produksi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara mencapai 42,572 kilometer persegi.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015