Jakarta (ANTARA News) - Mantan Deputi Bidang Pemanfaatan Teknologi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Agung Harjono menilai, informasi yang dikirim atau diterimanya sangat rentan dicuri oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

"Kami menangkap informasi-informasi di seluruh daerah Indonesia dan luar negeri (KBRI). Namun kami memastikan informasi aman, karena didukung oleh Lembaga Sandi Negara," kata Agung setelah penutupan acara Simposium Nasional Cyber Security, di Jakarta, Kamis.

Terkait dengan serangan siber, Agung menjelaskan potensinya luar biasa dan Indonesia termasuk target utama di seluruh dunia yang khususnya menyasar lembaga-lembaga pemerintah. Namun, kata Agung, kebanyakan serangan tersebut berasal dari dalam negeri.

"Serangan siber tersebut menargetkan institusi pemerintah dan lembaga-lembaga negara, banyak di level aplikasi dan sistem internet, namun datangnya serangan tersebut justru dari dalam negeri," ujarnya.

Menurut dia, saat ini, kesiapan dan keamanan siber Indonesia masih terbatas karena belum punya satu visi keamanan dari beberapa lembaga atau instansi yang belum bersinergi terkait keamanan ini.

"Saat ini Indonesia perlu satu standar siber nasional untuk kementerian dan lembaga negara. Diperlukan satu kebijakan yang reformatif," ucapnya.

Sementara itu, pengamat IT Richardus Eko Indrajit yang ditemui di lokasi yang sama, mengatakan, berasdarkan kajian bidang siber, saat ini masyarakat Indonesia perananannya besar di dunia maya karena budaya masyarakat yang suka berbagi dan pamer di dunia maya. "Sehingga tujuan marketing yang paling bagus adalah masyarakat Indonesia," kata Eko.

"Misalnya soal security, ada ibu ketipu soal ATM, langsung disharing di sosial media dan orang yang lain pun akan tahu. Itulah keampuhan kita yang di luar negeri tidak ada itu lebih ampuh dibanding model yang sangat formal. Jadi, nanti ada bahaya apapun, hal ini tak boleh dikesampingkan," ujarnya.

Kendati demikian, dia menjelaskan, postur budaya Indoensia yang unik ini harus dimanfaatkan sebagai instrumen pertahanan dengan satu komando.

Menurut Eko, serangan siber harus dihilangkan Indonesia dengan cara yang preventif karena hal tersebut dapat mengurangi risiko, dan mengurangi dampak serangannya seminimum mungkin.

"Untuk itu perlu koordinasi yang melibatkan lembaga-lembaga lain yang dipimpin oleh satu kepemimpinan," katanya.

Dia menambahkan, badan tersebut harus mampu menjadi lembaga yang dipercaya oleh seluruh pemegang kepentingan atau menjadi pemimpin dalam koordinasi sistem proteksi serangan siber secara nasional dengan semangat kepercayaan.

"Bentuk kepercayaannya adalah semua mendukungnya dan itu terjadi kalau dari awal semua pihak dilibatkan," katanya menambahkan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Antara dari Id-SIRTII (Indonesian Security Incident Response Team On Internet Infrastructure), Indonesia selalu masuk dalam jajaran papan atas di seluruh dunia dari target serangan siber.

Negara yang menyerang Indonesia lewat siber dari bulan Januari-September 2014:

Januari: Indonesia (67,30 persen), China (16,90 persen) dan Argentina (4,29 persen). Februari: Indonesia (76 persen), Tiongkok (12,24 persen) dan AS (1,75 persen).

Maret: Indonesia (80,81 persen), China (5,83 persen) dan Argentina (1,08 persen). April: Indonesia: (71,50 persen), Tiongkok (9,36 persen) dan Argentina (2,20 persen).

Mei: Tiongkok (43,66 persen), Indonesia (36,02 persen) dan Brazil (7,03 persen). Juni: Indonesia (40,45 persen), Tiongkok (28,32 persen) dan Argentina (10,99 persen). Lalu bulan Juli Tiongkok (27,91 persen), Indonesia (26,50 persen) dan Prancis (16,31 persen).

Agustus: Indonesia (41, 55 persen), Tiongkok (15,86 persen), dan AS (9,32 persen). September: Indonesia (46,65 persen), Tiongkok (28,57 persen) dan Argentina (6,50 persen).

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015