Palembang (ANTARA News) - Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Sriwijaya adalah lembaga keuangan mikro berbasis syariah, namun pengelolanya menyimpan tekad kuat dapat membantu warga setempat tidak lagi terus terjerat rentenir keliling.

BMT atau balai usaha mandiri terpadu yang berkantor di Jalan Trikora Lorong Serasan No. 1337 Demang Lebar Daun di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan itu, menurut Managernya, Mutiara, berupaya membantu warga khususnya pedagang kecil di daerah ini dari incaran rentenir yang setiap hari mengincar mangsanya.

Dia mengaku sering menjumpai praktik rentenir atau orang yang mencari nafkah dengan membungakan uang ("lintah darat") beroperasi mencari korban baru kalangan pedagang tidak mampu di Kota Palembang dan sekitarnya itu.

"Mereka mencari sasaran pedagang kecil yang kesulitan mendapatkan modal usaha, dengan menawari bantuan modal, tapi harus mengembalikan disertai bunga tinggi," ujarnya.

Saat ditemui bersama Ketua BMT Sriwijaya Nurman Apandi dan Bendahara Latifa Hanum, Mutiara menuturkan kenyataan bahwa para rentenir kerapkali berkeliling beroperasi, layaknya serupa koperasi, tapi terang-terangan menerapkan praktik ala rentenir itu.

"Namanya saja yang disamarkan seperti koperasi biasa, tapi dalam praktiknya justru serupa perilaku para rentenir," katanya lagi.

Dia mencontohkan, bila berutang modal usaha kepada rentenir itu sebesar Rp1 juta, diharuskan membayar dalam sebulan menjadi sebesar Rp1.300.000.

Artinya nasabahnya terkena kewajiban membayar pula beban bunga (riba) mencapai Rp300.000 sebulan alias 30 persen, selain harus melunasi utang pokok.

"Itu sangat memberatkan dan dapat menjerat para pedagang kecil seperti mereka. Tapi mau apa lagi, karena mereka memang membutuhkan uang itu, sehingga terpaksa berutang kepada para rentenir seperti itu," kata Mutiara lagi.

BMT Sriwijaya kendati pengelolanya mengaku memiliki kekuatan tak besar, tetap hadir, dan dengan berani mengusung tekad, bahkan visi dan misi akan dapat melepaskan masyarakat setempat dari jeratan para "lintah darat" tersebut.

Namun Nurman Apandi mengakui bahwa umumnya mereka yang berminat bergabung ke BMT ini bukanlah semata-mata untuk menjadi anggotanya, melainkan karena desakan kondisi harus meminjam uang bagi keperluan yang mendesak, baik untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari maupun menopang modal usaha.

"Tapi, kami tetap optimistis akan mampu membawa anggota kami bisa terbebas dari ulah para rentenir itu. Kami meminjamkan uang tanpa bunga tinggi seperti meminjam dari rentenir, sehingga pelan tapi pasti pada akhirnya masyarakat di sini benar-benar bisa terbebas dari jeratan para rentenir tersebut," ujar dia pula.

Bendahara BMT Sriwijaya, Latifa Hanum menjelaskan, bagi anggota yang mendapatkan pinjaman uang dari BMT ini tidak akan dikenai bunga pengembalian.

Pihak BMT akan menanyakan untuk apa pembiayaan yang diminta anggota atau nasabah tersebut, sehingga barang keperluan yang diinginkan dapat dibelikan dengan hanya membebankan biaya jasa sekitar 2,5 persen saja.

Mutiara menuturkan, bila meminjam Rp1 juta, setelah menerima barang yang diperlukan sesuai pesanan, nasabah diharuskan mengembalikan dalam sebulan sebesar Rp1.025.000. Nasabah hanya dikenai biaya tambahan Rp25.000.

Bandingkan dengan beban bunga pinjaman dari rentenir (30 persen), sehingga harus dibebani bunga sebesar Rp300.000 sebulan untuk pinjaman Rp1 juta seperti di atas, kata Mutiara lagi.

Pola pembiayaan tersebut membuat pengelola BMT Sriwijaya mengaku sangat optimistis dan meyakini sangat mungkin dapat memberantas rentenir, bila BMT ini terus berkembang dan memiliki modal dalam jumlah memadai, sehingga nasabah dan anggota terus bertambah.

Bila itu terjadi, katanya pula, berarti makin banyak warga yang dapat diselamatkan dari jeratan lintah darat.

Mutiara menyebutkan, saat ini setidaknya dalam sehari terdapat 5-6 orang calon nasabah yang masih harus bersabar dan antre untuk giliran mendapatkan bantuan modal yang diperlukan. "Kalau modalnya tersedia, akan lebih banyak warga dapat kami bantu," ujar Mutiara.

Kini BMT Sriwijaya memiliki aset mencapai Rp250 juta, dengan sekitar 20 kelompok dengan keseluruhan 60 orang anggotanya, antara lain pedagang asongan, pedagang sayur keliling, penjual es krim maupun pedagang dan usaha kecil lainnya di Kota Palembang dan kawasan Banyuasin hingga ke Sembawa.

Anggota BMT ini diharuskan membayar simpanan pokok Rp20.000 dan simpanan wajib Rp10.000 per bulan.

BMT ini dirintis dari lembaga sosial kemasyarakatan Sriwijaya Institute, dan semula memiliki modal awal terbatas, kemudian mendapatkan bantuan dana hibah pada Mei 2013 lewat program inkubator bisnis pemuda pelopor dari Kementerian Pemuda dan Olahraga.

"Biasanya, dana hibah yang diberikan itu akan hilang tanpa bekas, setelah didistribusikan ke kelompok," ujar Nurman Apandi pula.

Karena itu, bersama pengurus lembaga itu, dia mengusulkan pendirian BMT Sriwijaya agar dapat mengelola sebagian dana hibah itu, dan akhirnya mendapatkan persetujuan Kemenpora yang membolehkan 40 persen dana hibah itu dialihkan menjadi modal BMT.

Jadilah berubah dari Sriwijaya Institute yang semula melaksanakan program pelatihan bagi para guru maupun seminar pendidikan itu, menjadi lembaga keuangan mikro (LKM) yang bertujuan membantu masyarakat ekonomi lemah menjadi lebih berdaya dan bisa berkembang menjadi lebih besar lagi.

Modal awal diambil dari sebagian dana hibah itu sekitar Rp50 juta yang diusahakan, dan dikembangkan pengelola BMT Sriwijaya hingga sekarang ini.

Pengelolanya kemudian lebih fokus lagi, dengan melakukan aksi jemput bola mendatangi warga yang memerlukan bantuan modal usaha, yaitu rata-rata berkisar Rp2 juta hingga Rp3 juta, dalam bentuk dana bergulir.

"Sampai kini kami masih mengedepankan misi sosial, belum mengambil keuntungan dari modal yang kami usahakan itu," ujar Mutiara lagi.

Menurutnya, jumlah nasabah yang tergolong kreditnya macet sangat kecil, hanya dua orang, itu pun bukan karena kesengajaan tidak membayar ("mengemplang") utang, melainkan nasabah tersebut mengalami musibah yang tak bisa dielakkan lagi.

"Kalau mengalami kredit macet di bank, nasabah akan resmi ditagih dan didatangi petugas bank serta kemudian bisa berhadapan dengan penagih utang atau debt collector. Tapi di BMT ini, nasabah yang belum bisa membayar utangnya, tak harus didatangi dan disurati atau tak usah sampai ditagih pakai debt collector, tapi cukup dikumpulkan melalui sarana pertemuan seperti lewat pengajian, agar dapat segera diketahui permasalahan beserta solusinya," ujar Mutiara.

Nominal dana yang disalurkan bagi anggota BMT ini berkisar Rp1 juta hingga Rp10 juta, dengan masa pembayaran atau pola pengembalian 5-10 bulan hingga maksimal 20 bulan.

"Semuanya tidak kami kenakan bunga, tapi dalam bentuk pembiayaan alat atau barang produksi yang diperlukan sekitar 30 nasabah yang telah mendapatkan kucuran dana bergulir," katanya lagi.


Keberadaan OJK

Di tengah kesibukan, beberapa bulan lalu, pengurus BMT Sriwijaya mulai bersentuhan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pengelolanya berkesempatan mengikuti sosialisasi tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011.

Menurut Nurman Apandi, Ketua BMT Sriwijaya, semula pihaknya akan mengurus badan hukumnya berupa koperasi BMT Sriwijaya, namun belakangan--setelah mengikuti sosialisasi itu--diketahui bisa menjadi lembaga keuangan mikro (LKM).

"Kami sudah menyiapkan persyaratan dan dokumen yang diperlukan untuk dibawa ke notaris, agar dapat segera mengesahkan badan hukum BMT Sriwijaya ini," ujar Nurman lagi.

Menurut dia, langkah selanjutnya, direncanakan sebelum Ramadan ini akan datang ke notaris untuk mengurus badan hukum yang dipilih dan disepakati. "Insya Allah, kami tinggal berangkat ke notaris, sehingga soal badan hukum BMT ini akan segera selesai. Target kami sebelum Ramadan ini sudah tuntas," ujarnya pula.

Salah satu pertimbangan menentukan badan hukum itu, menurutnya, karena sebelumnya masih mencari informasi yang diperlukan secara lebih detail dan pasti lebih dulu untuk mengantisipasi tidak terjadi hal yang kurang diinginkan.

"Sekarang kami punya dua pilihan, yaitu menjadi koperasi atau LKM, sehingga akan berubah menjadi BMT Koperasi Sriwijaya atau BMT LKM Sriwijaya," kata dia lagi.

Namun dia membenarkan, sempat ada persepsi keliru bahwa menjadi LKM itu justru akan memberatkan bagi pengelola BMT Sriwijaya.

"Kami pernah mendengar informasi, kalau jadi LKM, awalnya memang dibantu modal dan lain-lainnya, tapi selanjutnya akan diambil mereka. Kita memang dapat tambahan modal, tapi nanti OJK yang membantu itu, akan memasukkan orang-orangnya di dalam BMT ini," ujar Nurman mengungkapkan kekhawatiran yang sempat dialami pengelola BMT Sriwijaya itu pula.

Ia juga mengaku mendengar bahwa LKM, kendati sistemnya bagus, tapi laporan keuangannya akan sangat sulit dikerjakan oleh para pengelolanya.

Namun semua kekhawatiran itu, menurutnya, menjadi sirna menyusul sosialisasi tentang OJK yang diterima.

"Ternyata dari sosialisasi itu, kami mendapatkan kepastian bahwa OJK itu justru akan membantu membina dan memfasilitasi solusi untuk pengembangan BMT atau LKM yang ada, sehingga bisa menjadi lebih kuat dan besar lagi. OJK itu tidak akan mengerdilkan LKM atau BMT yang telah kami kembangkan," kata dia.

Berkaitan kekhawatiran keberadaan OJK akan mengusik LKM seperti diutarakan pengelola BMT Sriwijaya itu, Kepala Bagian Pengaturan LKM Direktorat LKM OJK, Naomi Tri Yuliani menegaskan bahwa sesuai dengan peran dan fungsinya saat ini OJK terus melakukan inventarisasi untuk memastikan keberadaan LKM, sekaligus berupaya membantu memfasilitasi pengembangannya menjadi lebih kuat ke depan.

Dia menegaskan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

"OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. OJK didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan, dan menggantikan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank, serta untuk melindungi konsumen industri jasa keuangan," ujar dia lagi.

Direktur Stabilitas Sistem Keuangan OJK, Rendra Z Idris menegaskan pula bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Ia menambahkan, OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Naomi Tri Yuliani menjelaskan pula, dalam upaya mendorong pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diperlukan dukungan yang komprehensif dari lembaga keuangan.

Selama ini UMKM terkendala akses pendanaan ke lembaga keuangan formal, sehingga untuk mengatasinya di masyarakat telah tumbuh dan berkembang banyak lembaga keuangan non-bank yang melakukan kegiatan usaha jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik yang didirikan pemerintah atau masyarakat.

Lembaga-lembaga tersebut dikenal dengan sebutan lembaga keuangan mikro (LKM), yaitu lembaga keuangan khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.

"LKM dapat melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah," ujar Naomi lagi.

Tetapi dia menegaskan bahwa LKM tersebut banyak yang belum berbadan hukum dan memiliki izin usaha.

Dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat atas operasionalisasi LKM, pada tanggal 8 Januari 2013 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Naomi mengingatkan bahwa LKM yang telah berdiri dan beroperasi sebelum berlaku UU LKM serta belum mendapatkan izin usaha berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, wajib memperoleh izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM dari OJK paling lambat 8 Januari 2016.

Lembaga tersebut antara lain bank desa, lumbung desa, bank pasar, bank pegawai, badan kredit desa, badan kredit kecamatan, kredit usaha rakyat kecil, lembaga perkreditan kecamatan, lembaga perkreditan kecamatan, bank karya produksi desa, badan usaha kredit pedesaan, baitul maal wat tamwil, baitul tamwil Muhammadiyah, dan lembaga yang dipersamakan lainnya.

Hasil inventarisasi OJK tahun 2014, terdapat 19.334 LKM di sebagian wilayah Indonesia, termasuk 623 LKM di Palembang, Sumatera Selatan.

Saat ini (data OJK hingga April 2015) total aset industri dan lembaga jasa keuangan yang berada di bawah pengawasan OJK mencapai Rp14.413 triliun (137 persen Produk Domestik Bruto Indonesia), yaitu aset perbankan Rp5.773 triliun, industri keuangan non-bank Rp1.571 triliun, dan lembaga jasa keuangan di pasar modal Rp59 triliun.

Sedangkan penyaluran kredit/pendanaan oleh sektor jasa keuangan, rata-rata tahunan (2010-2014), untuk perbankan mencapai Rp455 triliun, pasar modal Rp234 triliun, dan perusahaan pembiayaan Rp45 triliun.

Perekonomian Indonesia saat ini bertumpu pada sektor jasa dan industri pengolahan, masing-masing memberi kontribusi mencapai sekitar 22 persen, disusul sektor pertanian, kehutanan dan perikanan (pertanian dalam arti luas) mencapai 14 persen, dan sektor perdagangan besar maupun eceran mencapai 14 persen.

Di tengah persaingan global dan dominasi kekuatan ekonomi negara-negara maju dan besar di dunia maupun Asia, keberadaan LKM di Indonesia sudah semestinya mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak.

Keberadaan LKM seperti BMT Sriwijaya Palembang perlu diperbanyak dan harus semakin diperkuat, agar tekad pengelolanya melawan dan memberantas praktik rentenir yang mencekik leher para pedagang kecil di Kota Palembang dan sekitarnya, dapat segera terwujud.

Mutiara, pengelola BMT itu, menegaskan: "Tantangan yang kami hadapi adalah keterbatasan modal untuk diusahakan dengan dipinjamkan kepada para anggota dan nasabah, sehingga tiap hari kami harus dipusingkan mengatur siapa mendapatkannya karena lebih banyak yang memerlukan daripada dana yang tersedia."

"Tapi kami sangat berharap dengan keberadaan OJK, BMT Sriwijaya ini dapat menjadi lebih besar lagi, sehingga akhirnya masyarakat Kota Palembang dan sekitarnya benar-benar akan terbebas dari jeratan praktik rentenir," ujar Mutiara, mengungkapkan angan pengelola BMT Sriwijaya dengan optimisme mewujudkannya.

Oleh Budisantoso Budiman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015