Jakarta (ANTARA News) - Mentalitas bertahan sebagai pemimpin dan enggan mengakui kesalahan, termasuk meminta maaf, masih menjadi budaya utama yang mendominasi perilaku para pejabat maupun kalangan pemimpin di Indonesia, termasuk saat terjadi masalah dalam penanganan musibah kecelakaan serta bencana alam. Demikian pernyataan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Suharso Monoarfa, di Jakarta, Jumat, ketika dimintai pendapatnya tentang terus mengalirnya tuntutan banyak pihak, agar beberapa menteri mundur dari jabatannya, karena dianggap tak becus melaksanakan tanggungjawab negara. "Mengenai posisi Hatta Rajasa selaku Menteri Perhubungan, kendati pun ada kesalahan yang dilakukan jajarannya dalam menangani musibah kecelakaan transportasi nasional (hilangnya pesawat Adam Air dan KM Senopati Nusantara, dengan korban jiwa ratusan orang), namun dia tentu belum mau mengundurkan diri, karena hal itu belum menjadi tradisi dirinya dan kita semua", urai Suharso lagi. Sementara itu, Tosari Widjaja, mantan Wakil Ketua DPR, juga dari Fraksi PPP, menambahkan berbagai musibah kecelakaan silih berganti yang telah menimpa rakyat Indonesia, jelas amat terkait dengan tanggungjawab menteri sebagai pembantu presiden. Pemimpin Selalu Benar Suharso Monoarfa melanjutkan ada budaya yang masih kental berlaku, kesalahan itu seakan-akan tidak langsung kepada pemimpin. "Karena masih berlaku di sekitar kita, maka mungkin karena budaya itu, yakni budaya bapak, bapakisme, patrimornial, seperti gurauan berbunyi 'rule number one, boss is always right, number two, if boss is wrong, see the rule of number one'. Jadi, pasal satu menegaskan, pemimpin itu selalu benar. Pasal duanya, jika pemimpin salah, kembalilah lihat pasal satu. Ini masih mentradisi. Jadi, budaya kita masih ke situ, bukan budaya tanggungjawab ke pemimpinnya," tutur Suharso Monoarfa. Dikatakannya,terkait dengan tanggungjawab profesional, sebagaimana terjadi di lingkup Departemen Perhubungan, ternyata bermuara pada terjadinya banyak kesalahan, termasuk dalam kebijakannya. "Apalagi terkait dengan pengumuman yang salah, bahwa telah terjadi penemuan kerangka pesawat, jenasah orang dan masih ada yang hidup. Ini kesalahan fatal, tetapi tidak ada minta maaf kan. Dan 'boss is not wrong,'" tukas anggota parlemen mewakili Provinsi Gorontalo ini. Karena itu, kalau Hatta Rajasa diminta mundur, menurut Suharso, mungkin kita terlalu emosional. Sebab, itu tidak atau masih sulit terealisasi. "Contoh yang lain khan ada. Yakni soal haji (yang kelaparan tanpa makanan di Arab Saudi). Pemerintah, dari tingkat pimpinan top hingga Menteri Agama tidak mau mengakui salah, dan enggan minta maaf. Itu semua tidak ada. Itulah budaya kita," ungkapnya. Sebaliknya, tutur Suharso, masyarakat Indonesia begitu permisif, yakni cepat memaafkan, bahkan dengan gampang melupakan kesalahan pemimpinnya. Keprihatinan Rakyat Secara terpisah, Tosari Widjaja yang bertugas di Komisi I DPR, menilai perilaku para pejabat terkait akhir-akhir ini sudah amat keterlaluan dan membuat keprihatinan rakyat bertambah-tambah. "Yah, kecelakaan-kecelakaan yang memilukan itu semakin menambah keprihatinan rakyat. Ada kecelakaan akibat problem lalu lintas di jalan rayat, ada kecelakaan kereta api, kapal laut, lalu di lingkup penerbangan nasional. Berhari-hari tanpa henti, dan penanganannya sering kurang bagus," ungkap Tosari Widjaja. Keprihatinan rakyat kian memuncak, ketika ada kesalahan yang berakibat terjadinya kelaparan di kalangan jemaah haji di Arafah dan Mina. "Itu semua telah melengkapi penderitaan dan keprihatinan bangsa ini. Siapa yang harus bertanggungjawab atas semua itu. Makanya, sebagai tanggungjawab moral kepada rakyat Indonesia, merupakan sikap sangat terhormat dan sangat pantas, bila Menteri Perhubungan, Menteri Agama dan Dubes RI di Arab Saudi dapat mengundurkan diri," pinta Tosari Widjaja. Namun, menurutnya, sebelum pengunduran diri mereka, mesti didahului dengan adanya pemberian penjelasan kepada rakyat melalui sidang paripurna DPR yang diadakan khusus untuk itu. "Rakyat tidak butuh alasan, tetapi mau menyaksikan sebuah kenyataan kinerja seorang menteri yang gagal memberi perlindungan kepada warga negaranya, mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Itu akan mendapat pahala," kata Tosari Widjaja lagi. (*)

Copyright © ANTARA 2007