Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar Jakarta (ANTARA News) - Dalam Webster`s New World Dictionary dibedakan antara poligami, poligini, dan poliandri. Poligami diartikan kepemilikan dua atau lebih pasangan hidup dalam waktu yang sama ("having two or more spouses at the same time"). Poligini diartikan kemilikan dua atau lebih isteri dalam waktu yang sama ("having two or more wives at the same time"), dan poliandri kepemilikan dua suami atau lebih dalam waktu yang sama ("having two ar more husbands at the same time"). Istilah yang lebih tepat sesungguhnya ialah poligini, bukan poligami yang memberi peluang berpasangan dengan sesama jenis, pasangan homo atau pasangan lesbi. Persoalan poligini dalam sudut pandang teologi usianya sama dengan usia manusia itu sendiri. Dalam Kitab Talmud (Erubin 100b, Bava Batra 73b, Niddah 24b, dan Sabbat 151b), sejarah jatuhnya manusia dari surga ke bumi karena faktor poligini. Dalam literatur Yahudi itu dikatakan, isteri pertama Adam bukan Hawa/Eva, melainkan Lillith. Lillith diciptakan dari tanah bersama-sama Adam. Lillith tidak mau menjadi pelayan maka ia meninggalkan Adam. Jadilah Adam (Hebrew: dari akar kata alef {sendirian} dan dom {sunyi, diam, bisu}), artinya makhluk yang merasa sendirian dan kesepian di surga tanpa pasangan. Tuhan lalu menciptakan pasangan baru Adam yaitu Hawa/Eva dari tulang rusuk Adam sebagai isteri baru. Sebagai isteri pertama, meskipun sudah berpisah tetap saja Lillith menaruh rasa cemburu. Ia tidak rela mantan suaminya bahagia di pelukan perempuan lain. Akhirnya ia bekerjasama dengan iblis yang juga tidak senang dengan kehadiran Adam yang telah menjadikannya makhluk terkutuk karena menolak sujud kepadanya. Rekayasa kedua makhluk ini berhasil menipu Adam dan Hawa, makan buah terlarang yang menyebabkan keduanya jatuh ke bumi penderitaan. Cerita ini juga disinggung dalam buku-buku tafsir Perjanjian Lama, Issaiah (34:14), yang oleh kalangan feminis Yahudi-Kristen dianggap sebagai ayat misoginis. Cerita tersebut menggambarkan poligini sejak awal sering berkonotasi negatif dalam dunia kemanusiaan. Dampaknya bukan saja di alami suami dan isteri-isteri tetapi juga anak dan keturunannya. Terlepas cerita ini benar atau salah, kita bisa berandai-andai, sekiranya anak manusia tidak terlilit dengan problem poligini maka kehidupan kita tetap berada di dalam surga kebahagiaan. Cerita seperti ini juga mendekatkan poligini kepada masalah teologi. Hampir semua agama-agama besar mempunyai konsep tentang poligini, tidak terkecuali dalam Islam, yang dalam kitab-kitab fikih dikenal dengan konsep "ta`addud al-zaujat". Namun dalam literatur Islam masalah poligini tidak pernah dihubungkan dengan kisah kejatuhan manusia ke bumi, karena cerita seperti tadi memang tidak pernah ada dalam Islam. Agama dan Poligini Hampir semua agama dalam perkembangannya melarang atau memberikan pembatasan ketat terhadap poligini. Agama Hindu, Budha, Yahudi, dan Nasrani semula memberikan pengakuan terhadap eksistensi poligini. Agama-agama tersebut terpengaruh dengan asumsi budaya masyarakat bahwa makin banyak istri makin tinggi status sosial laki-laki. Pusat-pusat peradaban dunia di masa silam seperti Babilonia, Syiria, dan Mesir juga telah lama mengenal poligini. Para raja mereka tidak asing lagi dengan poligini, bahkan di Cina, laki-laki mempunyai isteri 3000 orang adalah tidak asing. Demikian pula agama besar sebelum Islam seperti Hindu, Budha, Yahudi dan Nasrani telah memberikan pengakuan terhadap eksistensi poligini. Banyaknya isteri pada masa-masa klasik tersebut menjadi indikator dalam penentuan status sosial. Dalam Bibel tidak ditemukan ayat yang tegas menolak poligini. Dalam Bibel malah diceritakan King Salamon (Sulaiman) mempunyai isteri 700 orang. Larangan poligini dalam agama Kristen muncul kemudian setelah renaisans, ketika hukum-hukum gereja banyak menyerap hukum-hukum Romawi, sementara hukum Romawi banyak dipengaruhi oleh para pemikir humanis, terutama setelah Kaisar Yustianus menetapkan "Corpus Luris Civils" --biasa disebut Corpus Luris Yustianus-- yang berisi hukum-hukum kekeluargaan. Dari Romawi hukum-hukum tersebut menyebar ke berbagai pelosok dunia dan dikembangkan imperialisme Barat, seperti Napoleon yang terkenal dengan "code civil", yang menganut azas monogami. Napoleon Bonaparte yang menjadi simbol kekuatan Perancis menerapkan "code civil" ke berbagai negara jajahannya, termasuk Belanda yang kemudian menjajah Indonesia dan menerapkan Buegerlijk Watbook (BW), yang juga menganut monogami. Islam dan Poligini Jika dianalisa pendapat para ulama mengenai kedudukan pologini maka ditemukan tiga pola pemikiran, yaitu, pertama, ulama yang tidak mengakui keberadaan poligini, kedua, ulama yang mengakui poligini dengan syarat yang amat ketat, dan ketiga ulama yang mengakui poligini dengan syarat longgar. Golongan yang menolak keberadaan poligini berpendapat sesungguhnya Islam menganut prinsip monogami dan mengecam praktek poligini sebagai perpanjangan tradisi Arab pra-Islam. Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada kenyataan bahwa pertama kali Tuhan mencipta manusia hanya seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) kemudian mereka berdua kawin dan berkembang biak, sebagaimana dinyatakan dalam A-Qur`an Surat Al-Nisa (4:1) Muhammad Abduh cenderung menganut pendapat ini dengan mengatakan boleh saja seorang laki-laki kawin lebih dari seorang perempuan tetapi harus memenuhi syarat adil sebagaimana ditegaskan dalam Surat An-Nisa (4:3), akan tetapi lebih lanjut ia mengatakan syarat adil ini sesungguhnya teramat susah dicapai seorang laki-laki yang berpoligini. Apalagi Abduh menganut pendapat Abu Hanifah bahwa keadilan dalam ayat tersebut meliputi tempat tinggal, pakaian, makanan, dan hubungan suami isteri. Abduh juga melihat dampak poligini pada umumnya membawa masalah dalam kehidupan rumah tangga, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Dengan demikian poligini dianggapnya tidak sejalan dengan semangat ajaran Islam yang mengobsesikan keadilan. Senada dengan pendapat Abduh, Abu Zahrah menampik kemungkinan seorang laki-laki dapat berlaku adil kepada isteri-isterinya dengan mengutip Surat An Nisa :129, "Dan sekali-kali kamu tidak akan sanggup berbuat adil terhadap wanita-wanita sekalipun kamu telah berusaha keras....". Yang menarik dari pendapat Abu Zahrah ialah cara mengartikan ayatini bahwa bilangan dua, tiga, dan empat dalam surat itu bukanlah menyatakan bilangan yang dapat direalisir tetapi pada hakekatnya melarang, seperti sindiran orang Arab, "if`al ma syi`ta" (kerjakanlah sekehendak hatimu) artinya jangan lakukan perbuatan itu. Pendapat juga dilontarkan Prof. Qamaruddin Khan, mantan Ketua Department of Islamic History, Islamic University, Bahrawalpur dan Jamal J. Nasir, mantan Menteri Kehakiman Jordania. Sedangkan golongan yang membenarkan poligini dengan persyaratan ketat ialah jumhur ulama Ahlu Sunnah, termasuk Sayid Sabiq dan Wahbah Suhail. Mereka berpendapat poligini adalah izin dari Tuhan untuk kaum laki-laki sebagaimana dalam Al-Qur`an, "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senang, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." Selain ayat ini juga ditemukan banyak riwayat sebagaimana yang dikutip dalam buku-buku fikih, antara lain, Ghailan ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang isteri, mereka itupun memeluk Islam bersamanya. Kemudian Nabi SAW menyuruh Ghailan memilih empat di antara mereka. Kasus yang sama dengan Ghailan juga dialami oleh Qais ibn Harits yang juga disuruh oleh Nabi memilih empat di antara 70 orang isterinya. Jumhur ulama menetapkan syarat pologini antara lain, tidak mengumpulkan isteri lebih dari empat orang, tidak dengan muhrim, tidak mengumpulkan perempuan yang berfamili dekat, misalnya mengumpulkan kakak beradik sekaligus, atau ibu dan anak atau saudara ayahnya atau saudara ibunya, tidak dengan perempuan yang berbeda agama, dan adil terhadap isteri-isteri dengan ukuran misalnya menyediakan tempat tinggal masing-masing isteri, persamaan waktu menginap masing-masing isteri, berperasangka yang sama (baik) kepada masing-masing isteri. Wahbah Zuhail menambahkan adanya izin dari qadli atau hakim dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Jumhur ulama tidak menekankan praktik poligini Rasulullah sebagai dasar berpoligini, karena beliau mendapatkan dispensasi khusus dari Allah Swt. Jumhur ulama menolak praktek poligini Rasulullah didasari nafsu biologis seperti yang dituduhkan para orientalis, tetapi semuanya itu mempunyai maksud dan tujuan tertentu yang erat kaitannya dengan misi yang diemban beliau sebagai seorang Rasul. Sedangkan golongan yang menerima poligami tanpa syarat yang ketat dapat dilihat pendapat sejumlah ulama Syiah dan sebagian kecil ulama Sunni. Analisis pendapat ini dapat dilihat dari analisis huruf "waw" dan penggunaan istilah bilangan di dalam Surat An-Nisa sebagaimana dapat dilihat di dalam uraian Sayid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah. Kalau jumhur ulama Ahlu Sunnah mengartikan hurus "waw" dalam ayat tersebut dengan "atau" sehingga berfungsi sebagai alternatif yang berarti "dua, tiga, atau empat". Mereka berpendapat bahwa batas maksimum yang diperbolehkan ialah empat orang. Mengawini lebih dari itu secara bersamaan tidak dibenarkan dan hubungan dengan perempuan kelima dan seterusnya adalah hubungan zina yang patut dikenakan hukuman rajam. Demikian pula anak-anak yang lahir dari padanya dihukum anak zina dan tidak sah mewarisi ayahnya. Sedangkan pendapat minoritas ulama yang propoligami tanpa syarat ketat, seperti pendapat minoritas ulama Syiah, menafsirkan "matsna wa tsulatsah wa ruba", lebih dari empat orang, karena "waw" pada ayat itu tidak berarti "atau" melainkan berarti simbol penambahan. Rumusnya 2+3+4=9, sama dengan jumlah isteri Nabi. Ada yang menafsirkan "waw" dan bentuk kata "matsna, tsulatsah, dan ruba" dengan rumus 2+2=4, 3+3=6, 4+4=8, sehingga menjadi 4+6+8=18. Penafsiran lainnya memahami arti "waw" sebagai simbol perkalian, sehingga rumusnya, 2x3x4=24. Bahkan ada yang tidak membatasi jumlah maksimumnya karena kata, "fankihu ma thaba lakum min al-nisa" adalah lafaz yang berlaku mutlak, sedangkan angka sesudahnya bukanlah pembatas melainkan hanya keterangan untuk menghilangkan kebingungan kepada "mukhathab" yang mungkin menyangka bahwa menikahi lebih dari satu perempuan adalah tidak dibolehkan. Umumnya negara-negara Islam menganut pendapat jumhur ulama, yang membolehkan poligini dengan syarat-syarat yang lebih ketat. Menurut hasil penelitian Tahir Mahmood dalam karyanya, "Famili Law Reform in The Muslim World", hukum terapan poligini di setiap negara ternyata sangat dipengaruhi beberapa faktor, antara lain faktor sosial-budaya, politik lokal dan pengaruh mazhab yang dianut di negara tersebut. Di Turki, Hukum Kekeluargaannya (The Turkish Code) tidak membenarkan seorang laki-laki melakukan poligini. Seorang laki-laki baru dapat dibenarkan kawin lagi jika ia mempunyai bukti yang kongkrit bahwa isterinya telah meninggal dunia atau telah ditalak, sedangkan untuk menjatuhkan talak menurut perundang-undangan Turki sangat ketat. Kalangan ulama Turki menganggap isyarat kebolehan poligini dalam Al-Quran hanya berlaku dalam kondisi yang sangat khusus khusus. Mereka menganggap poligini sebagai salahsatu bentuk penyimpangan sosial ("social disorder"). Ini bisa dimaklumi karena kedekatan geografis dan kultural Turki dengan Eropa, yang menganut kultur monogami. Sebelum seseorang laki-laki melangsungkan perkawinan, rencana perkawinan tersebut terlebih dahulu harus diumumkan beberapa hari sebelumnya. Perkawinan dapat digugat bila di kemudian hari terbukti calon pengantin mempunyai isteri atau suami yang sah dan perkawinan dinyatakan batal manakala di kemudian hari ternyata salah seorang dari pasangan tersebut terikat dengan tali perkawinan. Di Tunisia larangan berpoligami juga sangat tegas. Perkawinan kedua dinyatakan tidak sah, bahkan lebih tegas lagi karena dalam pasal 18 Undang-Undang Kekeluargaan Tunisia mengancam satu tahun penjara atau denda sebanyak 240.000 frans. Umumnya ulama Tunisia dapat menerima pasal 18 di atas karena mereka melihat dan menyadari kondisi obyektif masyarakat Tunisia sudah menghendaki adanya berbagai pembaharuan, termasuk pelarangan praktek poligini. Di Pakistan, meskipun dinyatakan sebagai Negara Republik Islam, negara ini juga dengan bersikap ketat dan tegas terhadap praktek poligini. Untuk melakukan poligini mesti harus memperoleh izin dari Dewan Arbitrase atau Dewan Tahkim, sedangkan anggota dewan ini terdiri atas wakil-wakil suami dan isteri peratama serta ketua dari Dewan Persatuan Lokal. UU Kekeluargaan Palistan 1962 mengancam hukuman penjara maksimun satu tahun, atau denda sebanyak-banyaknya 5.000 rupee atau kedua-duanya bagi mereka yang melanggar pasal-pasal poligini. Di Irak, sebelum Saddam Husain jatuh, juga menerapkan ketentuan poligini dengan persyaratan yang amat ketat. Para pemohon diseleksi secara ketat oleh hakim dan hakim pun mempunyai pedoman ketat di dalam mengabulkan peraktek poligini. Undang-Undang Kekeluargaan Irak menetapkan tiga syarat pokok, yaitu pertama, suami mempunyai kemampuan untuk membiayai lebih dari seorang isteri, kedua, praktik poligini dilakukan melalui prosedur yang sah, ketiga praktik poligami dilakukan dengan pertimbangan kemaslahatan. Bagi orang yang melanggar ketentuan poligini dikenakan hukuman setahun penjara atau denda serendah-rendahnya 100 dinar. Syiria juga termasuk salah satu negara Islam yang dikenal sangat ketat terhadap praktik poligini. Agak mirip dengan Irak, praktik poligini di negeri ini juga lebih banyak ditentukan oleh "qadli". Qadli berhak mencegah perkawinan kedua terhadap seseorang bila yang bersangkutan dipandang tidak mampu membiayai isteri-isteri dan anak-anaknya atau akan mendatangkan kemudaratan rumah tangganya. Hanya saja di Syiria praktek poligini tidak sampai membatalkan perkawinan dan pelanggar poligini tidak dicantumkan secara tegas dalam kitab perundang-undangannya. Sedangkan negara-negara muslim lainnya seperti Mesir, Sudan, Iran, Kuwait, Saudi Arabia dan di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, masih memberikan peluang untuk berpoligini asal memenuhi syarat. Persyaratan yang ditetapkan di negara-negara tersebut masing-masing berbeda satu sama lain, tergantung mazhab dan kondisi obyektif yang dominan di dalam masyarakat. Persyaratan melakukan poligami menurut imam-imam mazhab, termasuk Syiah pada umumnya tidak mempunyai perbedaan yang prinsip, yaitu kemampuan sang suami memberikan jaminan lahir batin kepada para isterinya dan prosedurnya tidak menyalahi ketentuan syariah. Kasus Poligini di Indonesia Indonesia yang dikenal sebagai negara muslim terbesar, menerapkan hukum poligini relatif lebih longgar dibandingkan negara-negara muslim lain. Ini disebabkan karena masih adanya praktik kawin bawah tangan, yakni perkawinan yang tidak tercatat melalui Kantor Urusan Agama, tetapi hanya dilakukan oleh wali atau orang yang dikuasakan oleh wali calon isteri. Masyarakat menganggap perkawinan ini sah secara agama, meskipun tidak sesuai dengan ketentuan UU No.1 tahun 1974. Pada umumnya praktek poligini melalui perkawinan bawah tangan, karena laki-laki tidak mesti direpotkan oleh persyaratan poligini, meskipun mereka menyadari perkawinan itu tidak diakui dan konsekuensinya anak dan isteri tidak berhak mendapatkan warisan jika perkawinan mereka bubar. Sesungguhnya praktik poligini dalam UU tersebut juga diatur secara ketat, namun praktiknya sulit ditegakkan karena semata-mata mengandalkan kesadaran dan kejujuran masyarakat. Memang ada PP No 10 tahun 1983 dan PP No 45 tahun 1991, yang mengatur praktik poligini bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI dam Polri, serta pegawai BUMN, tetapi sanksi bagi pelaku poligini dianggap belum mamadai. Oleh karena itu praktisi hukum menilai masih perlu perangkat hukum lain untuk memberikan kekuatan dalam menerapkan UU tersebut. Pihak Departemen Agama bekerjasama dengan instansi terkait telah menyelesaikan sebuah legal draf yang dikenal dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama tentang Perkawinan. Rancangan UU ini sudah diajukan ke Presiden untuk selanjutnya diproses ke DPR. Jika UU ini disahkan, maka sulit bagi seseorang melangsungkan perkawinan di bawah tangan karena semua pihak yang terlibat dalam proses perkawinan tersebut diancam dengan hukuman denda dan kurungan. Yang berhak mendapatkan hak perwalian untuk mengawinkan orang hanya orang yang dizinkan di dalam UU tersebut. Ini artinya ustadz, imam, atau kyai, tidak lagi segampang sebelumnya mengawinkan orang karena diancam dengan hukum pidana. Tujuan penerapan RUU ini ialah agar institusi perkawinan itu berwibawa dan betul-betul sesuai dengan tuntutan hukum perkawinan dalam Islam, yang bukan hanya sebagai kontrak sosial biasa ("aqd al-tamlik") tetapi juga bernilai sakral ("aqd al-ibadah"). Diharapkan dengan RUU ini dapat mengeliminir dampak negatif poligini di dalam masyarakat, yang banyak merugikan perempuan dan anak-anak. Sekali lagi, RUU ini tetap tidak melarang poligini, tetapi hanya membatasi dan memberi persyaratan ketat, sebagaimana diisyaratkan dalam kitab suci. Bukan hanya membatasi maksimum empat tetapi juga memberi syarat adil secara kualitatif dan kuantitatif (al-adl), bukannya keadilan yang hanya mensyaratkan keadilan kuantitatif (al-qisth). RUU ini juga diharapkan dapat mendukung terwujudnya visi dan misi perkawinan dalam Islam yaitu terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, khaira ummah, generasi kuat dan terpercaya. *** Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, lahir di Desa Ujung, Kec. Dua Boccoe, Kab. Bone, Sulawesi Selatan. Jenjang pendidikannya dimulai di Pesantren As`adiyah, Sengkang, Kab. Wajo, Sulawesi Selatan, kemudian melanjutkan pendidikan S1 di IAIN Alauddin Makassar, kemudian melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia pernah melakukan Visiting Student di McGill University, Montreal-Canada (1993-1994) dan Leiden University, Belanda (1994-1995). Umar menyelesaikan disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul: "Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Quran", dengan melakukan penelitian di sejumlah negara di Timur-Tengah dan Afrika. Ia pernah menjadi Pembantu Rektor III dan IV di UIN Jakarta. Ia juga pernah menjadi Visiting Scholar di SOAS, University of London (2003-2004) dan di CMCU, University of Geogetown, Washington DC. (2004-2005). Kini sebagai Rektor PTIQ Jakarta di samping tugas pokoknya sebagai Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI.(*)

Oleh
Copyright © ANTARA 2007