Kisah kehidupan suku Dani di Lembah Baliem, Papua, yang unik sudah lama berdengung di Nusantara, bahkan hingga ke negara-negara lain.

Akan tetapi permukiman mereka yang berada nun jauh di ujung timur Indonesia membuat tidak banyak orang bisa berkelana ke lembah tempat mereka tinggal.

Buku fotografi "Dani the Highlander, Manusia Pegunungan" karya perempuan pencinta alam Evy Aryati Arbay bisa menjadi salah satu pilihan untuk menikmati Lembah Baliem tanpa perlu bersusah payah melakukan perjalanan ke sana.

Evy adalah seorang pegawai negeri sipil yang berdinas di Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang mengisi sebagian hari-harinya dengan menjadi pemandu wisata karena kecintaannya pada alam dan budaya.

Kesempatan keluar-masuk Lembah Baliem saat bertugas membuat Evy sangat dekat dengan kehidupan orang-orang suku Dani, suku asli di puncak gunung.

Bahkan keluarga terpandang dari suku itu, Mebel, memberinya nama Evy Mebel, sebagai perlambang bahwa mereka menerima perempuan kelahiran Jakarta itu sebagai anggota keluarga.

Lewat hasil bidikan berbagai jenis kamera, termasuk kamera saku dan telepon genggam, Evy menyuguhkan kehidupan keseharian suku Dani yang jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat kota di pulau itu.

Suku Dani tinggal di rumah tradisional berbentuk bundar dengan atap kerucut yang disebut rumah Honai. Kaum prianya tidak mengenakan pakaian, hanya memakai penutup kemaluan yang terbuat dari kulit sejenis labu yang disebut koteka sementara para perempuan mengenakan rok dari jerami, rerumputan dan serat.

Potret seorang bayi yang sedang mandi duduk berendam di dalam baskom plastik dengan tatapan lurus ke kamera, mengawali rangkaian foto dalam buku setebal 208 halaman itu, seperti menyapa pembaca dengan kesegarannya yang muda.

Foto pada halaman berikutnya menampakkan sekelompok orang tua-muda dan anak-anak, lelaki dan perempuan, berbaris berderet memamerkan jati diri mereka.

Para perempuan telanjang dada dengan rok rumput dan jerami atau untaian manik-manik, kaum pria dewasa berkoteka dan anak-anak telanjang bulat. Kaum perempuan menghiasi tubuh mereka dengan titik-titik putih di sekujur tubuh dan wajah.

Sebagian besar pria mengenakan hiasan kepala dengan bulu-bulu burung. Demikian pula, kaum perempuan. Taring babi menjadi hiasan hidung pria.

Orang kota mungkin masih bertanya-tanya apakah suku Dani memang masih hidup seperti itu?

Foto-foto tersebut bukan dari masa lalu, tetapi diambil baru-baru ini, satu dasawarsa terakhir, sehingga bisa menjelaskan bahwa memang seperti itulah kehidupan mereka, masih seperti pada zaman batu.

Akan tetapi, kata Evy, suku Dani ramah, mau menyapa orang lain, termasuk pendatang, dan mereka pintar.

"Saya pernah bertemu perempuan Dani menjadi diplomat di Ethiopia, Afrika Timur," tulisnya.


Kehidupan Suku Dani


Baliem yang terletak di suatu lembah di Gunung Jayawijaya yang berketinggian 1.600-1.700 di atas permukaan air laut menjadi tempat hunian sejumlah suku asli Papua yang merupakan ras Melanesia dan yang terbesar dan paling berwibawa adalah suku Dani.

Pada 44 halaman pertama buku berisi foto-foto pengenalan secara umum orang-orang Suku Dani yang merupakan masyarakat agraris, menunjukkan saat mereka menanam, memanen, menjual hasil bumi ke pasar, interaksi masyarakat, termasuk dengan ternak babi yang sangat dimanja.

Foto babi berkeliaran di perkampungan, para perempuan menggendong dan menyusui babi seperti memperlakukan anak-anak mereka menghiasi buku ini. Babi adalah hewan dengan status sosial dan ekonomi yang tinggi karena bisa diperjualbelikan atau dipotong dan disantap untuk acara-acara khusus.

Profil wajah sejumlah pria dengan cara penampilan mereka yang cukup bergaya, entah pada tata rambut, riasan wajah, dan aksesories tradisional yang mereka kenakan, atau membalurkan jelaga dan lumpur ke tubuh, memberi kesan eksotis dan foto itu sendiri berbicara mengenai fakta kehidupan masyarakatnya.

Bagian dua buku ini merupakan rangkaian foto yang memperlihatkan budaya, ada foto tarian perang, ragam busana dan aksesories, termasuk noken (tas tradisional dari Papua yang terbuat dari serat kayu) dan pisau dari bilah bambu atau juga dari tulang dan alat musik sederhana berbentuk perkusi, alat petik berupa gitar buatan tangan, dan alat musik tiup, serta permainan anak-anak dengan bambu dan rotan.


Potong jari

Jejak muram sejarah potong jari sebagai tanda perkabungan atau hukuman iris telinga pada anak-anak yang dianggap nakal karena tidak patuh pada orang tua, dideretkan pada bab tiga yang berisi kumpulan foto upacara.

Dahulu, warga Suku Dani akan memotong satu jari setiap kehilangan anggota keluarganya, dan para orang lanjut usia banyak yang memilik jari-jari buntung entah satu-dua, bahkan ada yang lima karena istri, suami, anak, atau orangtua mereka telah meninggal dunia.

Adat tersebut sudah terpinggirkan. Demikian pula, kebiasaan berperang antarsuku, yang kini amat jarang terjadi.

Makanan merupakan salah satu ciri setiap suku dan bangsa, dan suku Dani masih mempraktikkan cara tradisional memasak dengan mengubur bahan makanan berupa umbi-umbian dan daging babi dalam timbunan batu yang dipanaskan.

Baliem yang disebut sebagai "shangrila" atau surga dunia oleh Richard Archold, Ketua Tim Ekspedisi Museum of Natural History, Amerika Serikat, yang memperkenalkan tempat ini ke dunia luar.

Baliem masa kini juga merupakan daerah tujuan wisata dan sejak 1970-an warga setempat mempertontonkan atraksi perayaan yang diresmikan sebagai Festival Budaya Lembah Baliem sejak 1989.

Dalam festival, seperti yang tertera pada foto-foto karya Evy, warga mempertontonkan atraksi tari, lomba memanah, menombak, bahkan juga lomba bagi babi.

Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB) yang diselenggarakan setiap bulan Agustus merupakan saat yang menarik bagi wisatawan untuk melihat atraksi kegiatan sehari-hari suku Dani serta keelokan alam di tempat tinggal mereka.

Aristides Katoppo, wartawan kawakan yang juga mentor Evy, dalam kata sambutan pada buku ini mengatakan bahwa Lembah Baliem tidak siap menjadi tempat kunjungan wisata secara massal meskipun pesawat jet sudah masuk hingga ke bandara di Wamena, kota terdekatnya.

Menurut dia, daerah itu hanya cocok untuk orang-orang yang bisa menghormati budaya lokal.

Sebagai pemandu wisata, penulis, dan fotografer, Evy dengan cermat menyisipkan banyak panduan untuk mengunjungi perkampungan suku Dani dan caranya berinteraksi dengan masyarakat setempat.

Buku Evy hanya terbit terbatas, 1.000 eksemplar untuk edisi pertama yang dicetak Juli 2014, dan tampaknya segera habis karena Evy sudah melangkah dengan menggelar pameran foto dan atraksi budaya Dani, antara lain di Tokyo, Jepang, pada awal Juni 2015.

Seperti penuturan Aristides Katoppo, sekarang ini banyak Armchair Tourism atau Wisata Kursi Malas, di mana orang menikmati pariwisata lewat tayangan televisi atau membaca buku, tidak mengunjungi objek wisata. Buku "Dani the Highlander" bisa menjadi sarana bagi mereka yang ingin menikmati wisata dengan cara itu.

Oleh Maria D. Andriana
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015