Kiai Sahal Mahfudh merupakan tipe ulama kharismatik terakhir, tapi saya optimistis muktamirin bisa menemukan ulama kharismatik itu dalam muktamar kali ini,"
Jombang (ANTARA News) - Pengamat NU dari Utrech University, Belanda, Prof Martin van Bruinessen, menyatakan NU memerlukan pemimpin kharismatik yang mengutamakan pemberdayaan "akar rumput" dan tidak mementingkan elite.

"Kiai Sahal Mahfudh merupakan tipe ulama kharismatik terakhir, tapi saya optimistis muktamirin bisa menemukan ulama kharismatik itu dalam muktamar kali ini," katanya dalam diskusi di Universitas KH Hasyim Asyari (Unhasy), Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa timur, Sabtu.

Dalam diskusi bertajuk "Menjelang Satu Abad: Quo Vadis NU" dengan pembicara lain Prof Emeritus Mitsuo Nakamura (Chiba University, Jepang) dan Prof Haris Supratno (Wakil Rektor Unhasy), ia menjelaskan pemimpin kharismatik itu bukan pemimpin yang semata-mata pintar atau intelektual.

"Pemimpin kharismatik itu bukan hanya pemimpin dengan pengetahuan agama yang tinggi, karena kiai yang pintar itu sudah banyak dimiliki NU, seperti KH Husein Muhammad, yang melakukan studi ke Mesir, Belanda, tapi dia hanya menantu dari pengasuh Pesantren Arjowinangun," katanya.

Menurut Indonesianis yang sudah menjadi peninjau Muktamar NU hingga delapan kali itu, pemimpin kharismatik itu tidak ditentukan dengan mekanisme AHWA (ahlul halli wal aqdi atau musyawarah untuk mufakat) atau tidak.

"Peneliti AS, Clifford Geertz, memang menyebut sejumlah kiai menjadi perantara atau semacam broker, karena kiai memang bisa hidup di dua alam antara masyarakat tradisional dengan negara atau masyarakat modern, sehingga bisa bergerak di mana-mana," katanya.

Namun, kiai semacam itu hanya beberapa orang, sedangkan kiai-kiai dalam kepengurusan NU harus kembali pada pemberdayaan masyarakat kecil, sebab jika mementingkan elite akan membuat NU secara organisasi menjadi mudah diperalat orang luar.

"Keberpihakan kepada masyarakat kecil itu bukan hanya pemberdayaan secara langsung, namun juga bisa menolak kebijakan liberalisasi ekonomi atau sumberdaya alam," katanya.

Senada dengan itu, Indonesianis dari Chiba University, Jepang, Prof Emeritus Mitsuo Nakamura menilai tradisionalisme itu bukan kelemahan NU, melainkan justru menjadi inti dari keberadaan NU.

"Tradisionalisme itu bukan berarti NU itu kolot, tertinggal, dan semacamnya, namun kalau NU meninggalkan tradisionalisme itu justru bukan NU lagi. Yang penting, tradisi itu tetap dipertahankan dengan menggali khazanah yang non-tradisi," katanya.

Sementara itu, Wakil Rektor Unhasy, Prof Haris Supratno, menyatakan masyarakat NU saat ini sebenarnya sudah mengalami perubahan, karena mulai banyak generasi terdidik.

"Tinggal, pemimpin NU yang sudah terdidik itu nantinya memberdayakan masyarakat NU untuk maju, sehingga NU secara organisasi akhirnya akan maju juga," kata mantan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang jebolan Pesantren Secang, Magelang, Jawa Tengah itu.

Selain itu, kalangan pesantren juga harus melakukan perbaikan. "Meski tetap mengajarkan ilmu-ilmu agama, tapi manajemen pesantren harus semakin baik, seperti asrama, konsumsi, dan sistem pengajaran," katanya.

Pewarta: Edy M Ya`kub/Andi Jauhari
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015