Jakarta (ANTARA News) - Presiden Soekarno berpidato dan membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di halaman rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Gedung Pola) Jakarta pada Jumat 17 Agustus 1945 atau 8 Ramadhan 1364 H pukul 10.00 WIB.

Saat itu Soekarno berpidato:

"Saudara-saudara sekalian,
Saya telah meminta Anda untuk hadir di sini untuk menyaksikan peristiwa dalam sejarah kami yang paling penting. Selama beberapa dekade kita, Rakyat Indonesia, telah berjuang untuk kebebasan negara kita-bahkan selama ratusan tahun!
Ada gelombang dalam tindakan kita untuk memenangkan kemerdekaan yang naik, dan ada yang jatuh, namun semangat kami masih ditetapkan dalam arah cita-cita kami.
Juga selama zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak pernah berhenti. Pada zaman Jepang itu hanya muncul bahwa kita membungkuk pada mereka. Tetapi pada dasarnya, kita masih terus membangun kekuatan kita sendiri, kita masih percaya pada kekuatan kita sendiri.
Kini telah hadir saat ketika benar-benar kita mengambil nasib tindakan kita dan nasib negara kita ke tangan kita sendiri. Hanya suatu bangsa cukup berani untuk mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri akan dapat berdiri dalam kekuatan.
Oleh karena semalam kami telah musyawarah dengan tokoh-tokoh Indonesia dari seluruh Indonesia. Bahwa pengumpulan deliberatif dengan suara bulat berpendapat bahwa sekarang telah datang waktu untuk mendeklarasikan kemerdekaan.

Saudara-saudara,
Bersama ini kami menyatakan solidaritas penentuan itu. Dengarkan Proklamasi kami:

PROKLAMASI

KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA. HAL-HAL YANG MENGENAI PEMINDAHAN KEKUASAAN DAN LAIN-LAIN DISELENGGARAKAN DENGAN CARA SEKSAMA DAN DALAM TEMPO YANG SESINGKAT-SINGKATNYA.

JAKARTA, 17 AGUSTUS 1945

ATAS NAMA BANGSA INDONESIA
SOEKARNO-HATTA

Jadi, Saudara-saudara,
Kita sekarang sudah bebas!
Tidak ada lagi penjajahan yang mengikat negara kita dan bangsa kita.
Mulai saat ini kita membangun negara kita. Sebuah negara bebas, Negara Republik Indonesia-lamanya dan abadi independen. Semoga Tuhan memberkati dan membuat aman kemerdekaan kita ini".


Pidato dan teks Proklamasi Kemerdekaan RI yang dibacakan lantang oleh Soekarno meskipun saat itu sang proklamator dalam keadaan sakit.

Upacara berlangsung amat sederhana tanpa protokol, apalagi korps musik atau gelar pasukan.

Bendera Pusaka, Sang Saka Merah Putih, yang dijahit Fatmawati, istri Soekarno, dikibarkan oleh beberapa petugas paskibraka pada tiang bambu. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan bersama.

Peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan tiap 17 Agustus, mulai 1946 hingga 1949 berlangsung di Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta karena Jakarta dikuasai Belanda dan Sekutu, sedangkan ibu kota negara pindah ke Yogyakarta, bahkan pada 1948 sempat dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera.

Istana Merdeka

Untuk pertama kalinya, peringatan HUT ke-5 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950 diselenggarakan di Istana Merdeka, Jakarta.

Presiden Soekarno menyampaikan pidato antara lain mengumumkan bentuk negeri ini kembali menjadi Republik Indonesia setelah sejak 27 Desember 1949, seiring dengan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, berbentuk Republik Indonesia Serikat.

Upacara peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI sejak itu disambut gembira oleh rakyat Indonesia.

Upacara pun diselenggarakan dengan mengikuti protokol kenegaraan dengan upacara kemiliteran serta memiliki pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka). Para pembesar sipil maupun militer serta para korps diplomatik hadir.

Selama pemerintahannya Presiden Seokarno menyampaikan pidato pada Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI, sedangkan pembacaan teks proklamasi dibacakan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan pembacaan doa oleh Menteri Agama.

Sejak 17 Agustus 1968, para pengibar bendera pusaka diambil dari para pemuda pemudi terbaik dari semua provinsi, sedangkan bendera pusaka tiap tahun dikibarkan pada tiang 17 (disebut tiang 17 karena memiliki ketinggian 17 meter) di Istana Merdeka.

Sejak 17 Agustus 1969, karena kain yang sudah mulai melapuk, bendera pusaka tidak mungkin dikibarkan lagi di tiang setinggi 17 meter itu. Gantinya adalah duplikat bendera pusaka.

Peringatan HUT Kemerdekaan pada 1969 punya makna khusus karena bertepatan dengan kembalinya Irian Barat ke pangkuan Negara Kesatuan RI. Pengertian kesatuan Sabang-Merauke sudah terwujud di sana.

Sejak 17 Agustus 1950 itu pula peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI selalu berlangsung di Istana Merdeka, kecuali pada 17 Agustus 1980 yang berlangsung di Jalan Proklamasi berbarengan dengan peresmian monumen Soekarno-Hatta oleh Presiden Soeharto.

Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara.

Upacara dimulai sekitar pukul 10:00 WIB.

Acara-acara pada pagi hari adalah penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih, pembacaan naskah Proklamasi, pembacaan doa, dan aubade berupa lagu-lagu dari para pelajar dan korps musik TNI/Polri.

Petangnya berlangsung upacara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.

Presiden dan mantan Presiden

Peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi ajang silaturahim antarundangan yang terdiri atas para pejabat tinggi negara dan tamu perwakilan negara sahabat.

Peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama pimpinan Presiden Soekarno ke era Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto tidak pernah memperlihatkan kedua tokoh bangsa hadir bersama pada peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka.

Bukan itu aja perbedaannya. Bila pada era Soekarno (1945-1966), selalu ada pidato kemerdekaan, namun pada era Soeharto (1966-1998), Presiden Soeharto tidak pernah menyampaikan pidato.

Pada era Presiden BJ Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan Presiden Joko Widodo (2014-2019) yang baru pertama kali memimpin upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan ke-70 Tahun pada 17 Agustus 2015, juga tidak ada pidato dari Presiden selaku inspektur upacara.

Pada era Habibie, Soeharto pun tidak pernah menghadiri peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka. Begitu pula pada era Abdurrahman Wahid, Habibie tak sempat menghadiri upacara kemerdekaan RI di Istana Negara.

Pada era Megawati, Gus Dur - panggilan akrab Abdurrahman Wahid - pun tidak hadir. Megawati pun tak menghadiri upacara itu selama pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Yudhoyono pun tak tampak pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Gus Dur dan Ibu Sinta Nuriyah adalah pasangan mantan Presiden Indonesia dan Ibu Negara yang hadir pada peringatan kemerdekaan ke-63 pada 17 Agustus 2008. Dari keluarga mantan Presiden Soekarno, hadir Guruh Soekarno Putra.

Megawati dan Sinta Nuriyah Wahid (Ibu Negara semasa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid) hadir pada upacara Peringatan Detik-Detik Kemerdekaan RI di Istana Merdeka pada 17 Agustus 2015.

Pada Sabtu malam, 16 Agustus 1980, Presiden Soeharto meresmikan monumen Proklamator RI, Soekarno-Hatta, yang menggambarkan saat Soekarno membacakan naskah proklamasi dan Hatta berdiri di sampingnya.

Peresmian Monumen Soekarno-Hatta terletak di bekas tempat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diucapkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Monumen itu dibangun pemerintah sebagai ungkap terima kasih bangsa Indonesia kepada para pendiri republik ini.

Apakah pada tahun-tahun mendatang, puncak Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan tetap dipusatkan di Istana Merdeka?

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan ada kemungkinan upacara peringatan kemerdekaan pada tahun depan akan berbeda dengan saat ini.

Pramono mengatakan Presiden mengharapkan kemeriahan di Jakarta juga terjadi di berbagai daerah sehingga Presiden akan memerintahkan para menteri hadir di daerah pada peringatan hari kemerdekaan tahun depan.

Pramono mengatakan belum diputuskan apakah tahun depan Presiden atau Wakil Presiden yang memimpin upacara di Istana Merdeka di Jakarta. Yang jelas, upacara di Jakarta tetap ada karena para diplomat dan perwakilan negara sahabat berada di Jakarta.

"Tetapi para menteri mungkin tidak lagi di Jakarta," kata Pramono.

Oleh Budi Setiawanto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015