Jakarta (ANTARA) - Di awal pidato kepemimpinannya, Presiden Prabowo Subianto dengan penuh semangat menyampaikan satu cita-cita besar, yaitu memastikan tersedianya Makan Bergizi Gratis atau MBG bagi anak-anak Indonesia.

Gagasan MBG tersebut tidak hanya berulang kali ditegaskan dalam berbagai pidato Presiden Prabowo Subianto, melainkan juga telah lama dituangkan dalam karyanya yang berjudul: “Paradoks Indonesia dan Solusinya.”

Dalam buku itu, Prabowo mengajak kita merenung melalui pertanyaan-pertanyaan mendasar: mengapa bangsa sebesar Indonesia tidak mampu menjamin rakyatnya cukup makan? Mengapa masih ada anak-anak yang kelaparan di negeri yang begitu kaya? Dari pertanyaan inilah MBG menemukan maknanya.

Haruskah kita melihat anak-anak di ibu kota sendiri tidak bisa tidur karena lapar? Haruskah kita biarkan rakyat berjuang setengah mati hanya untuk mencari makan setiap hari, sementara kekayaan bangsa terus mengalir ke luar negeri dan kita disuruh diam serta menerima keadaan?

Pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut bukanlah gagasan belaka, melainkan bentuk kontemplasi mendalam yang melandasi mengapa MBG diperlukan. Oleh karena itu, program ini bukan ide yang datang tiba-tiba, melainkan gagasan visioner yang sudah lama dipikirkan dengan berlandaskan teknokratisme dan idealisme: sebuah upaya negara untuk menjawab paradoks kemiskinan, sekaligus memperbaiki kualitas gizi dan masa depan generasi penerus bangsa.

Program MBG akhirnya resmi dimulai pada 6 Januari 2025. Implementasinya dilakukan secara bertahap, hingga mencakup seluruh jenjang pendidikan, dimulai dari PAUD hingga SMA/sederajat di semua wilayah kabupaten/kota dengan mempertimbangkan kesinambungan fiskal. Dalam pelaksanaannya, bahan makan yang diolah juga menggunakan sumber pangan lokal.

Melalui Perpres Nomor 83 Tahun 2024, pemerintah menunjuk Badan Gizi Nasional (BGN) untuk menjalankan tugas dalam pemenuhan gizi nasional lewat program MBG.

Hanya saja, "mulia dan optimisnya" program MBG dari Presiden Prabowo Subianto tersebut masih menghadapi tantangan serius dalam pelaksanaan di lapangan. Muncul berbagai persoalan yang patut menjadi alarm keras, mulai dari kasus anak-anak yang mengalami keracunan akibat kualitas makanan yang buruk, makanan yang basi dan berulat, hingga munculnya dugaan penyelewengan anggaran dalam pengadaan bahan pangan. Persoalan ini bukan lagi masalah teknis semata, melainkan indikasi dari kelola, tanpa tata, dan kelola secara ugal-ugalan.

Persoalan keracunan dalam program MBG, hingga saat ini masih menjadi tantangan serius bagi BGN, mengingat kasus serupa nyaris terjadi di berbagai titik sekolah pelaksanaan program tersebut. Tidak hanya itu, mitra dapur MBG di Kalibata dilaporkan mengalami kerugian hampir Rp1 miliar akibat dugaan penggelapan dana oleh yayasan penyelenggara MBG, yang semakin mempertegas besarnya potensi konflik kepentingan dalam tata kelola program ini.

Rentetan berbagai peristiwa tersebut, hingga kini memunculkan pertanyaan mendasar mengenai sistem pengawasan, standar keamanan pangan, serta transparansi pengelolaan dana MBG yang seharusnya menjadi prioritas untuk menjamin keberlanjutan dan kredibilitas program.

Tanpa perbaikan tata kelola yang serius dan komitmen kuat pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas, cita-cita mulia Prabowo bisa tergelincir menjadi ironi tragis, yaitu program makan bergizi gratis atau MBG, tetapi yang kenyang bukan rakyat kecil, melainkan para penikmat rente di balik meja-meja pengadaan.

Badan Gizi Nasional yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam implementasi program ini, jangan hanya sekadar fokus pada pelaksanaan teknis agar makanan bergizi dapat tersalurkan. Lebih dari itu, BGN harus memastikan bahwa seluruh aspek tata kelola memenuhi prinsip good governance. Artinya, tantangan utama dari program lintas jutaan anak dan ribuan sekolah adalah koordinasi antarlembaga dan jenjang pemerintahan.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.