Jakarta (ANTARA) - Komisi XIII DPR RI meminta Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk memprioritaskan penertiban lahan yang dikuasai korporasi secara ilegal, bukan memaksa relokasi masyarakat di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau.
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso menilai langkah relokasi terhadap 50 ribu warga yang sudah lama tinggal di TNTN berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
“Kita berpihak pada rakyat. Relokasi bukan hanya berdampak ekonomi, tapi juga sosial budaya, sejarah, bahkan kesejahteraan. Itu perspektifnya sudah mengarah pada pelanggaran HAM,” kata Sugiat di Kawasan Parlemen, Jakarta, Senin.
Menurut dia, kebijakan relokasi terhadap 50 ribu warga akan membawa dampak luas, bukan hanya ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, dan sejarah.
Dia menekankan bahwa Satgas PKH seharusnya lebih dulu menindak tegas perusahaan yang membuka lahan secara ilegal di kawasan hutan.
“Saya pikir prioritas-nya ke situ aja dulu kan. Jangan langsung prioritas-nya ke rakyat,” ujarnya.
Sugiat menjelaskan bahwa sebagian masyarakat sudah tinggal di kawasan itu sejak sebelum TNTN ditetapkan sebagai taman nasional.
Bahkan menurut dia, terdapat ratusan desa, sekolah, dan kantor pemerintahan desa yang sudah berdiri puluhan hingga ratusan tahun.
“Bagaimana mungkin desa yang sudah ada sebelum Republik berdiri malah dikategorikan masuk kawasan taman nasional dan dipaksa relokasi? Itu tidak adil,” tegasnya.
Baca juga: Komisi XIII DPR tolak relokasi warga di TN Tesso Nilo, dorong Pansus Agraria
Komisi XIII DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kemenkumham, Komnas HAM, LPSK, dan perwakilan masyarakat Riau resmi menolak relokasi warga TNTN.
DPR juga merekomendasikan penyelesaian konflik melalui Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Agraria yang akan dibentuk pada Sidang Paripurna DPR, 2 Oktober 2025.
Selain itu, Komisi XIII meminta Satgas PKH menghentikan praktik yang memperhadapkan aparat negara dengan masyarakat.
“Jangan sampai TNI dan Polri justru berhadap-hadapan dengan rakyat sendiri dalam konflik agraria,” ujar Sugiat.
Konflik agraria di TNTN mencuat kembali sejak Satgas PKH berencana melakukan relokasi warga pada Agustus 2025.
Rencana itu ditunda setelah Komnas HAM menemukan dugaan pelanggaran HAM, mulai dari intimidasi hingga pembatasan akses masyarakat.
Komnas HAM mencatat sejumlah laporan terkait dugaan tindakan represif, termasuk pemasangan portal yang membatasi akses warga, hingga dugaan kekerasan terhadap anak di Desa Hitam, Pelalawan.
Lembaga ini menegaskan relokasi paksa akan menimbulkan kerentanan baru dan menyalahi prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Sementara itu, data Komisi XIII menunjukkan terdapat sekitar 50 ribu jiwa yang mendiami TNTN, tersebar di ratusan desa.
Selain permukiman, di kawasan itu juga berdiri sekolah dasar, madrasah, hingga kantor pemerintahan desa yang telah berfungsi sejak lama.
Menurut DPR, keberadaan masyarakat yang sudah mapan tersebut membuktikan perlunya pendekatan berbeda dalam penyelesaian konflik.
“Kami tidak menolak konservasi, tapi kebijakan harus adil. Penertiban lahan korporasi yang melanggar aturan harus menjadi prioritas sebelum menyasar rakyat,” ujar Sugiat.
Langkah DPR ini diharapkan memberi jalan tengah antara kepentingan konservasi habitat gajah sumatera yang dilindungi di TNTN dengan perlindungan hak dasar warga.
Komisi XIII memastikan akan mengawal penyelesaian konflik melalui Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR RI yang mulai bekerja setelah sidang paripurna pekan depan.
Baca juga: Warga Riau adukan dugaan pelanggaran HAM di Taman Nasional Tesso Nilo
Baca juga: Komnas HAM: Relokasi warga Tesso Nilo berpotensi langgar HAM
Pewarta: Aria Ananda
Editor: Imam Budilaksono
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.