Tahun 2018, pengeluaran masyarakat untuk transportasi mencapai 12,46 persen dari total biaya hidup masyarakat Indonesia. Persentase itu melebihi rekomendasi Bank Dunia (World Bank) yang menetapkan pengeluaran rumah tangga untuk transportasi maksimal
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengajak masyarakat membangun pola hidup rendah emisi sebagai upaya menanggulangi polusi dan pemanasan global.
Salah satu sektor yang disoroti Bima adalah soal transportasi. Ia mengatakan transportasi adalah hal yang sangat dekat dengan aktivitas sehari-hari masyarakat, karena itu transportasi perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah (Pemda).
"Transportasi yang nyaman, ramah lingkungan, berkelanjutan, serta terjangkau tidak hanya berfungsi mengurangi emisi karbon, tetapi juga berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Jadi, transportasi publik yang ramah lingkungan itu sebetulnya juga untuk kesejahteraan,” kata Bima dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Saat menjadi pembicara pada kegiatan "Jejak Langkah untuk Udara Bersih" di Jakarta, Bima menekankan perubahan pola hidup harus dilihat dalam konteks krisis iklim global.
Ia mengingatkan bahwa istilah global warming kini bergeser menjadi global boiling atau “pendidihan global”, sebagaimana disampaikan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Baca juga: Wamendagri Bima Arya minta pemda tingkatkan realisasi APBD 2025
Berdasarkan data yang dimilikinya, sektor industri pengolahan masih menjadi penyumbang emisi karbon terbesar, diikuti sektor pengadaan listrik dan gas, serta pertanian, perkebunan, dan perikanan. Adapun sektor transportasi menempati urutan keempat secara nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2018, pengeluaran masyarakat untuk transportasi mencapai 12,46 persen dari total biaya hidup masyarakat Indonesia. Persentase itu melebihi rekomendasi Bank Dunia (World Bank) yang menetapkan pengeluaran rumah tangga untuk transportasi maksimal sebesar 10 persen.
Ia turut membagikan pengalamannya semasa menjabat Wali Kota Bogor, ketika menginisiasi kebijakan sehari tanpa kendaraan bermotor dan kampanye bersepeda.
Menurutnya, perubahan kebiasaan publik memerlukan kerja sama pemerintah dan masyarakat, serta harus dibangun secara sistemik, bukan insidental.
“Saya bicara di sini dengan harapan kalian jadi aktor-aktor yang akan mengampanyekan penggunaan transportasi publik,” ujarnya.
Baca juga: Wamendagri minta efiensi TKD tak kurangi kualitas layanan publik
Bima juga menekankan pentingnya transformasi transportasi melalui integrasi aktor (pengguna), struktur (sistem), dan kultur (budaya). Ia menilai pembangunan infrastruktur menjadi kunci untuk membentuk budaya baru, seperti kebiasaan berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum.
“Saya langsung percaya bahwa membangun kultur itu adalah dengan cara membangun infrastruktur. Infrastruktur dibangun, maka kultur akan terbangun,” kata Bima.
Sebagai contoh, ia memaparkan transformasi angkutan kota (angkot) di Bogor yang dilakukan dengan pendekatan kelembagaan, yakni mengorganisir pemilik angkot menjadi badan hukum, mengatur standar layanan, dan merancang sistem operasional yang lebih dapat diprediksi. Dari proses inilah muncul cikal bakal layanan terintegrasi di Bogor.
“Di sinilah akhirnya kemudian cikal bakal dari Trans Pakuan. Trans Pakuan ini, Trans Jakarta-nya Bogor,” jelas Bima.
Terakhir, Bima menyoroti manfaat sosial dan ekonomi dari transportasi umum yang baik. Selain mengurangi emisi karbon, transportasi publik menjadi medium untuk memperluas jaringan sosial, meningkatkan empati, dan membuka peluang pertemuan antarmasyarakat.
“Kita bukan hanya menambah sensibilitas kita, empati kita, tapi networking, jaringan, dan lain-lain,” tuturnya.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.